Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Senin, 02 Maret 2015

Makna Cincin Bagi Mereka

Demam cincin tengah mendunia. Menjangkiti semua jenis manusia, mulai dari pejabat negara sampai rakyat jelata, dari guru besar, pemuka agama sampai paranormal. Tidak salah memang memakai cincin, bahkan Baginda Nabi, sahabat dan para ulama pun memakai cincin. Tapi apakah makna cincin bagi mereka? Ini yang perlu diketahui.
Di dalam kitab Shahih Muslim dijelaskan bahwa Nabi memiliki cincin yang terbuat dari perak dan batunya berasal dari Habsyah. Di cincin Nabi tersebut terdapat tulisan “Muhammad Rasulullah”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa tatkala Nabi SAW hendak menulis surat kepada Romawi, maka dikatakan kepada beliau, "Sesungguhnya mereka (kaum Romawi) tidak akan membaca tulisanmu  jika tidak distempel". Maka Nabi pun memakai tulisan yang terpahat di cincin itu sebagai stempel. Dengan demikian, cincin yang dipakai nabi, di samping sebagai perhiasan juga berfungsi sebagai stempel kenabian.
Lain halnya dengan Umar bin Khattab, Amirul Mukminin yang keberhasilannya dalam memimpin dikagumi kawan atau lawan itu memiliki cincin yang bertuliskan “Kafa Binafsikal Maut Wa’ida Ya Umar” (Cukup maut itu menjadi peringatan bagi engkau wahai Umar). Melihat cincin bagi Umar berarti mengingat kematian, melihat batu cincin mengingatkan ia akan batu nisan. Dan mengingat mati merupakan terapi yang sangat jitu untuk menjauhkan diri dari godaan berbuat maksiat.
Bagi seorang pemimpin, yang disibukkan dengan berbagai macam agenda, serta difasilitasi dengan segala bentuk fasilitas, godaan untuk bersenang-senang dengan kemaksiatan memang lebih besar dibanding rakyat biasa. Maka terapi jitu, seperti zikrul maut, yang bisa menjauhkan mereka dari kemaksiatan menjadi sebuah keharusan. Apa yang dilakukan Umar dengan cincinnya bisa menjadi salah satu alternatif dalam menjalani terapi tersebut.
 
Imam Syafi’i juga memiliki cincin. Di cincinnya tertulis “al-‘ilmu nur” (ilmu itu adalah cahaya). Cincin menjadi sarana bagi Imam Syafi’i untuk memupuk kecintaannya terhadap ilmu. Sejarah perjalanan hidup Imam Syafi’i memberikan gambaran kepada kita akan dahsyatnya buah kecintaan beliau kepada ilmu yang senantiasa dipupuk. Di umur 7 tahun beliau hafal al-Qur’an, di usia 10 tahun hafal kitab ­al-Muwaththa’ dan di usia 15 tahun ia mendapatkan ijazah dari gurunya, mufti Kota Mekkah Muslim bin Khalid al-Zanji, untuk mengeluarkan fatwa. Kecintaan ini tidak memudar seiring berjalannya waktu, di usia 50 tahun, saat muridnya sudah menyebar di seantero negeri, ia tinggalkan Kota Bagdad, menuju Mesir, karena di negeri itu ia dengar ada seorang alim tempat menimba ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar