Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Selasa, 03 Maret 2015

MENGAPA ENGKAU MENANGIS YA RASULULLAH?


Mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya. -George Santayana.
Dengan berlinang air mata, Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah pernah berkisah tentang peristiwa paling berkesan yang ia lalui bersama Rasulullah saw. Suatu malam Rasulullah saw masuk ke kamar Aisyah, berbaring di sisinya bahkan masuk ke dalam selimut Aisyah. Dengan lembut kemudian ia berbisik ke telinga Aisyah: “Wahai Aisyah, apakah engkau rela sepanjang malam ini aku habis untuk beribadah kepada Tuhanku?”, walau hati kecilnya ingin selalu bersama Rasulullah saw, akan tetapi Aisyah dengan tulus mengatakan, bahwa ia juga merelakan dan menyukai setiap apa yang ingin dilakukan Baginda Rasul.
Lalu peristiwa hebat itu terjadi, Rasul segera berdiri dan mengambil wudhu’. Kemudian beliau shalat dan menangis sejadi-jadinya sampai baju dan sajadahnya basah bermandikan air mata. Tangisan itu berlangsung sampai subuh saat Bilal bin Rabah datang untuk mengumandangkan azan. Setelah Azan Bilal bertanya : “Ya Rasul. Mengapa Engkau menangis padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Engkau yang telah berlalu dan yang akan datang (jikalau ada)?” Rasul menjawab “Wahai Bilal, apakah aku tidak senang kalau disebut Hamba yang Bersyukur? Kemudian ia melanjutkan “Bagaimana saya tidak menangis Wahai Bilal, tadi malam Allah menurunkan ayat al-Qur’an kepadaku “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran 190-191).
Setelah membaca ayat ini Rasul pun berkata “Wahai Bilal ! celakalah umatku yang pernah membaca ayat ini namun tidak pernah mau merenungi kandungan ayat ini”
Surat Ali Imran dan penggalan cerita di atas merupakan peristiwa yang harus menjadi renungan bagi setiap kita. Mengapa Rasul menangis dan pesan apa sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 di atas? Ada dua hal yang disebutkan Allah swt dalam ayat di atas, yaitu penciptaan langit dan bumi (Khalq al-Samawat wa al-Ardh) dan pergantian siang dan malam (Ikhtilaf al-Lail wa al-Nahr). Dua hal ini merupakan instrumen bagi manusia sebagai makhluk yang dibekali akal untuk mengenal dan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Yatafakkaru Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh artinya belajar dalam arti yang sangat luas termasuk belajar di lembaga pendidikan, sementara Ikhtilaf al-Lail wa al-Nahr merupakan isyarat agar manusia mau mengambil i’tibar dari perjalanan waktu dan catatan sejarah. Dua hal ini, yaitu ilmu (pendidikan) dan pengalaman, hendaknya membuat manusia semakin khusyu’ dalam zikirnya, semakin tahu akan kelemahan sekaligus kewajibannya sebagai seorang hamba, sebab jika tidak, maka sesungguhnya manusia telah lalai dalam menggunkan potensi yang paling berharga yang dimilikinya, yaitu akal (Lubb/Albab).
Proses belajar mengajar (Yatafakkaru Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh) saat ini dilaksanakan secara terencana di lembaga pendidikan, idealnya, hal ini akan melahirkan manusia yang semakin tunduk, semakin tahu dengan keberadaannya sebagai makhluk ciptaan Allah swt, semakin bermoral dan semakin bermanfaat bagi orang lain. Bukan sebaliknya, menjadi manusia yang semakin angkuh dengan ilmu yang ia miliki dan semakin zalim terhadap orang lemah yang ada di sekitarnya.
Pembinaan aspek moral di lembaga pendidikan akhir-akhir ini menjadi pembicaraan dan sorotan seiring meunculnya pemberitaan di media tentang kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam proses Ujian Nasional. Isu kecurangan tersebut bahkan menarik lembaga seperti ICW (Indonesia Corruption Watch) untuk membuka posko pengaduan kecurangan UN (Suara Merdeka, 23/4) dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam keselamatan saksi yang melaporkan jika hal itu memang terjadi (Republika, 23/4).
Sebegitu parahkah kecurangan yang terjadi, sehingga lembaga seperti ICW dan LPSK merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam proses ini? Ataukah pemerintah kurang cermat dalam mengkalkulasi dan mempertimbangkan kemampuan sarana dan prasarana penunjang pendidikan dalam menetapkan standar kelulusan, sehingga beberapa pihak terpancing untuk “menyelamatkan” peserta didik dalam ujian tersebut. Padahal Lembaga Pendidikan merupakan lembaga suci dan sakral yang diharapkan bisa melahirkan generasi bangsa yang bisa merubah wajah Indonesia di masa yang akan. Kalau di lembaga ini sudah terjadi kecurangan, peserta didiknya sudah mulai diperkenalkan kepada praktek yang tidak baik, lalu kepada siapa lagi bangsa ini bisa berharap.
Dalam Perang Dunia II, Jepang yang awalnya begitu gagah menyerang Pearl Harbour luluh lantak oleh serangan bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima. 220.000 nyawa melayang dalam peristiwa tersebut. Seluruh sendi kehidupan Jepang hancur. Dalam kekakcauan tersebut Kaisar Hirohito bertanya “Berapa orang guru yang masih hidup?”. Pertanyaan Tenno Heika Hirohito ini sesungguhnya beranjak dari kesadaran bahwa untuk membangun suatu bangsa, bahkan untuk bangkit dari kehancuran, pembangunan mental dan karakter (Character Building) melalui peran seorang pendidik dan lembaga pendidikan merupakan modal yang paling vital. Hal ini juga disadari oleh WR. Supratman saat menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, sangat tepat lirik “Bangunlah jiwanya” lebih didahulukan dari lirik “Bangunlah Badannya”.
Hal inilah yang mulai hilang pada saat ini, sudah banyak yang lupa bahwa pembangunan aspek mental melalui contoh yang baik, jauh lebih penting dari pada mengasah kecerdasan intelektual. Fokus dan perhatian yang terlalu besar terhadap topeng dan asesoris membuat kita lupa dengan tujuan dan substansi. Inilah mungkin yang melatarbelakangi tangisan Rasulullah saw. Saat ilmu pengetahuan tidak lagi membuat manusia semakin dekat dengan Sang Penciptanya, saat pendidikan tidak lagi bisa melahirkan manusia yang dengan santun membangun peradaban bagi masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar