Catatan Syamsuatir
Selasa, 07 April 2015
Aku Ingin Diutus Sebagai Rahmat (Da'wah Ke Tha'if ~Syawal Tahun 10 Kenabian/Akhir Mei 619 M)
Sepuluh hari kekasih Allah itu menyusuri Kota Tha'if, ia ketuk pintu
rumah dan hati penduduk kota yang berjarak lebih kurang 60 Mil dari Kota
Mekkah itu. Ia temui tiga bersaudara pemimpin kota tersebut, Abu
Yala'il, Mas'ud dan Hubaib Bin Amr al-Tsaqafy. Tapi yang ia terima tidak
seindah yang ia harapkan, yang ia rasakan tak semanis yang ia
bayangkan. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Tirai Ka’bah tersobek jika
sampai Allah mengutus seorang Rasul’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah
Tuhanmu tak punya orang lain untuk diutus?’, dan yang terakhir berujar,
‘Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir
mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan
seorang pendusta!’. Ia dihina, diusir bahkan dilempari dan dikejar oleh penduduk
kota yang berjuluk Sepotong Syam yang Jatuh di Hijjaz.
Tiga mil
ia berlari, hingga sampai di kebun anggur milik putra-putra Rabi’ah.
Tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur saat penduduk Tha'if
yang mengejarnya sudah hilang dari pelupuk mata. Dengan senyum yang
tertengadah ke langit namun airmata melelehi pipinya yang mulia, ia
mengadu kepada Penciptanya.
اللهم أشكو إليك ضعف قوتي، وقلة حيلتي،
وهواني على الناس. يا أرحم الراحمين أنت رب المستضعفين وأنت ربي. إلى من
تكلني؟ إلى عدو ملكته أمري! أم بعيد يتجهمني؟ إن لم يكن بك غضب عليّ فلا
أبالي. ولكن عافيتك أوسع لي. أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت به الظلمات، وصلح
عليه أمر الدنيا والآخرة، أن تنزل بي غضبك، أو تحل علي سخطك. لك العتبى حتى
ترضى، ولا حول ولا قوة إلّا بك
Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah yang
sedang ada di kebunnya merasa iba melihat keadaan cucu ‘Abdul Muthalib
itu. “Hai Addas”, panggil salah satu di antara keduanya kepada seorang
pembantu, “Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana
itu.”
Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu
dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara
yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu
Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik
sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah
seri itu menyebut nama Allah.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ucap
Rasulullah sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas.
Addas menggeleng dan tersenyum.
“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini”, kata Addas.
“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri seorang shalih bernama Yunus ibn Matta?”, tanya Sang
Rasul dengan penuh minat begitu Adas menyebut nama negeri asalnya. Mata
Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar membuatnya
tertarik.
“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?”, tanya Addas.
Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan akupun seorang Nabi.”
Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah. Dikecupnya
dahi beliau dengan penuh cinta, diciumnya tangan beliau dengan penuh
hormat, dan dikecupnya kaki beliau dengan penuh khidmat. Melihat
kejadian itu Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Allah”, kata
Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”
Setelah
lelahnya mulai mereda, dengan kegundahan dalam hati ia lanjutkan
perjalanan, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’alib (Qarn al-Manazil) ia angkat
kepala, Ia lihat kekasih sekaligus gurunya, Jibril, bersama Malaikat
penjaga Gunung Abu Qubais dan Qu'aiqi'an, dua gunung yang berjuluk
Akhsyaban, Gunung kokoh yang menjulang tinggi. ‘Sesungguhnya’, kata
Jibril dengan suara yang memenuhi ufuk, ‘Rabbmu telah mengetahui apa
yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus
Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu.”
Lalu
malaikat penjaga gunung menimpali, ‘Ya Rasulallah, ya Nabiyyallah, ya
Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain
ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar,
mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu.’
“Tidak”, kata
laki-laki mulia berhati lembut itu, “Sungguh aku ingin agar diriku
diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin
agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan
keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya
dengan sesuatupun.”
Raganya mengucurkan darah hingga membasahi
sandalnya, jiwanya lelah, batinnya terluka, namun harapannya tak pernah
sirnah dan yang tumpah tetaplah cinta.
Baca Selengkapnya >>
Minggu, 22 Maret 2015
Mulai Dari Diri Sendiri
2 tahun 5 bulan, itulah waktu yang dibutuhkan
Umar bin Abdul Aziz untuk menggelar keadilan dan kemakmuran di seantero wilayah
Islam, menghadirkan kembali nuansa kehidupan 'ala minhajin nubuwah. Di usia 34
tahun, usia yang sangat belia untuk ukuran seorang pemimpin, ia berhasil
mengantarkan kesejahteraan kepada rakyatnya yang menyebar mulai dari Jazirah
Arab, Persia, Afghanistan, Afrika Utara, Spanyol, Asia tengah, sampai Pakistan
dan Anak Benua India. Dari manakah ia memulai kerja besar ini? Apakah resep
yang ia punya sehingga berhasil mengukir karya gemilang dalam waktu relatif
singkat?
"Kini tiba giliranmu, isteriku,” kata Umar bin Abdul Aziz suatu saat kepada isterinya. “Perbaikan dan reformasi Dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri, Selanjutnya adalah giliranmu, Kemudian anak-anak, dan setelah itu keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmmu ke kas Negara.”
Istrinya langsung angkat kepala. “ Tidak Umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, abdul Malik bin marwan.“ Umar terdiam sejenak, lalu menjawab, “tapi uang membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah!“ dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.
Beberapa saat Umar tertunduk, terpekur. Tantangan untuk mewujudkan i'tikad mulia itu justru datang dari orang terdekat dan paling ia cintai. Umar pun bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan: kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.“ Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. Ia memilih untuk terus bersama Umar.
Dari sinilah Umar bin Abdul Aziz memulai karya besarnya, ia perbaiki dirinya terlebih dahulu, lalu keluarga terdekat. Baru setelah itu bisa mempersembahkan perubahan dan perbaikan bagi rakyatnya. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sesungguhnya merupakan implementasi dari pesan Rasulullah saw, Ibda’ Bi Nafsik, mulailah dari dirimu, demikian Rasulullah berkata suatu kali kepada para sahabatnya.
Sebagai penutup, kutipan hikmah di bawah ini layak kita renungkan.
“Ketika aku muda, aku ingin mengubah seluruh
dunia. Lalu aku sadari, betapa sulit mengubah seluruh dunia ini. Maka aku
putuskan untuk mengubah negaraku saja. Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa
mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua,
aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku.
Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku
sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri. Tiba-tiba
aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku
pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah
negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.”
Baca Selengkapnya >>
Minggu, 08 Maret 2015
CINCIN UMAR BIN KHATTAB
Umar bin Khattab, tidak perlu banyak narasi untuk memperkenalkan
sosok ini, namanya sudah sangat familiar di telinga dan sudah sangat sering
tercatat di dalam lembar sejarah. Ia adalah pemimpin besar dalam sejarah Islam,
di kalangan non muslim ia dikenal sebagai Saint Paul of Islam. Kharisma
dan wibawanya luar biasa, kesederhanaannya dikagumi, dan sejarah kepemimpinannya
menjadi legenda.
Dari sekian banyak cerita mengenai sosok Umar bin Khattab, ada satu
sisi yang menarik diperbincangkan dari diri beliau di saat demam batu akik
menjangkiti segala jenis manusia pada hari ini. Umar bin Khattab memiliki
cincin yang berpahatkan kata “Kafa Bi Nafsika al-Maut Wa’ida Ya Umar” (cukup
maut menjadi peringatan bagi engkau Wahai Umar). Melihat cincin berarti mengingat kematian, melihat
batu cincin mengingatkan ia akan batu nisan.
Mengingat mati merupakan terapi yang sangat jitu untuk menjauhkan
diri dari godaan berbuat maksiat. Rasulullah pun sering memperingatkan umatnya
untuk memperbanyak Zikrul Maut (mengingat kematian). Karena itu, terapi Zikrul
Maut layak dicoba, terutama bagi orang-orang yang larut dalam
kemewahan hidup dunia atau terlena karena terlalu lama berlomba mengejar posisi
duniawi.
Lalu apa hubungan cincin Umar bin Khattab dengan kondisi yang
sedang dihadapi Indonesia pada saat ini? Beberapa waktu yang lalu Presiden RI
ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, di akun twitternya mengatakan bahwa di balik
prahara yang melanda Bangsa Indonesia pada saat ini, ternyata banyak kisah dan
drama yang berkaitan dengan nafsu untuk meraih kekuasaan. Nafsu untuk meraih
kekuasaan inilah yang membuat bangsa ini seolah kehilangan adab dan jati diri. Dengan
demikian, birahi kekuasaan ini perlu dikendalikan agar seseorang tidak
menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya. Seseorang yang dikuasai
oleh birahi duniawi, maka amanah, seperti apapun bentuknya, hanya akan
mendatangkan kehancuran.
Sesaat setelah menerima amanah untuk memimpin kaum muslimin,
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemimpin besar lain yang juga merupakan cicit
Umar bin Khattab, meminta nasehat kepada seorang ulama besar, Hasan al-Bashri.
Nasehat singkat melalui sepucuk surat diberikan oleh Sang Imam "Amma
ba'du. Durhakailah hawa nafsumu! Wassalam.”
Tulisan ini tidak hendak menggiring kita untuk memakai cincin, tulisan
ini juga tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap penerbitan perda batu akik.
Tulisan ini hanya hendak menyampaikan, bahwa Zikrul Maut merupakan salah
satu terapi untuk menjauhkan diri dari dorongan berbuat maksiat, menjadi
benteng diri dari godaan syahwat duniawi. Mengapa Umar bin Khattab tak tergoda
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi? Salah satu jawabannya
adalah karena Umar bin Khattab sadar bahwa kehidupan dunia akan berakhir dengan
kematian dan kematian adalah awal pertanggungjawaban di hadapan Allah swt
terhadap segala perbuatan yang pernah dilakukan semasa hidup di dunia.
Banyak cara dan media yang bisa digunakan untuk mengingat mati,
silahkan pilih media yang sesuai dengan keseharian kita, apakah dengan i’tikaf,
mendengar tausiyah agama, tadabbur alam dan merenungi kandungan ayat suci
al-Qur’an, atau seperti Umar bin Khattab, menjadikan cincin sebagai salah satu
media untuk mengingat mati.
Wallahu
a’lamBaca Selengkapnya >>
Selasa, 03 Maret 2015
MENGAPA ENGKAU MENANGIS YA RASULULLAH?
Mereka yang tidak bisa
mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya. -George Santayana.
Dengan berlinang air mata, Ummul
Mukminin Sayyidah Aisyah pernah berkisah tentang peristiwa paling berkesan yang
ia lalui bersama Rasulullah saw. Suatu malam Rasulullah saw masuk ke kamar
Aisyah, berbaring di sisinya bahkan masuk ke dalam selimut Aisyah. Dengan
lembut kemudian ia berbisik ke telinga Aisyah: “Wahai Aisyah, apakah engkau rela
sepanjang malam ini aku habis untuk beribadah kepada Tuhanku?”, walau hati
kecilnya ingin selalu bersama Rasulullah saw, akan tetapi Aisyah dengan tulus
mengatakan, bahwa ia juga merelakan dan menyukai setiap apa yang ingin
dilakukan Baginda Rasul.
Lalu peristiwa hebat itu terjadi, Rasul
segera berdiri dan mengambil wudhu’. Kemudian beliau shalat dan menangis
sejadi-jadinya sampai baju dan sajadahnya basah bermandikan air mata. Tangisan
itu berlangsung sampai subuh saat Bilal bin Rabah datang untuk mengumandangkan
azan. Setelah Azan Bilal bertanya : “Ya Rasul. Mengapa Engkau menangis padahal
Allah telah mengampuni dosa-dosa Engkau yang telah berlalu dan yang akan datang
(jikalau ada)?” Rasul menjawab “Wahai Bilal, apakah aku tidak senang kalau
disebut Hamba yang Bersyukur? Kemudian ia melanjutkan “Bagaimana saya tidak
menangis Wahai Bilal, tadi malam Allah menurunkan ayat al-Qur’an kepadaku “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran 190-191).
Setelah membaca ayat ini Rasul pun berkata “Wahai Bilal !
celakalah umatku yang pernah membaca ayat ini namun tidak pernah mau merenungi
kandungan ayat ini”
Surat Ali Imran dan penggalan cerita di atas merupakan peristiwa yang harus menjadi renungan
bagi setiap kita. Mengapa Rasul menangis dan pesan apa sesungguhnya yang ingin
disampaikan dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 di atas? Ada dua hal yang
disebutkan Allah swt dalam ayat di atas, yaitu penciptaan langit dan bumi (Khalq
al-Samawat wa al-Ardh) dan pergantian siang dan malam (Ikhtilaf al-Lail
wa al-Nahr). Dua hal ini merupakan instrumen bagi manusia sebagai makhluk
yang dibekali akal untuk mengenal dan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Yatafakkaru
Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh artinya belajar dalam arti yang sangat luas
termasuk belajar di lembaga pendidikan, sementara Ikhtilaf al-Lail wa
al-Nahr merupakan isyarat agar manusia mau mengambil i’tibar dari
perjalanan waktu dan catatan sejarah. Dua hal ini, yaitu ilmu (pendidikan) dan
pengalaman, hendaknya membuat manusia semakin khusyu’ dalam zikirnya, semakin
tahu akan kelemahan sekaligus kewajibannya sebagai seorang hamba, sebab jika
tidak, maka sesungguhnya manusia telah lalai dalam menggunkan potensi yang
paling berharga yang dimilikinya, yaitu akal (Lubb/Albab).
Proses belajar mengajar (Yatafakkaru
Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh) saat ini dilaksanakan secara terencana
di lembaga pendidikan, idealnya, hal ini akan melahirkan manusia yang semakin
tunduk, semakin tahu dengan keberadaannya sebagai makhluk ciptaan Allah swt,
semakin bermoral dan semakin bermanfaat bagi orang lain. Bukan sebaliknya, menjadi
manusia yang semakin angkuh dengan ilmu yang ia miliki dan semakin zalim
terhadap orang lemah yang ada di sekitarnya.
Pembinaan aspek moral di lembaga
pendidikan akhir-akhir ini menjadi pembicaraan dan sorotan seiring meunculnya
pemberitaan di media tentang kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam proses
Ujian Nasional. Isu kecurangan tersebut bahkan menarik lembaga seperti ICW
(Indonesia Corruption Watch) untuk membuka posko pengaduan kecurangan UN (Suara
Merdeka, 23/4) dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga merasa
terpanggil untuk ikut terlibat dalam keselamatan saksi yang melaporkan jika hal
itu memang terjadi (Republika, 23/4).
Sebegitu parahkah kecurangan yang
terjadi, sehingga lembaga seperti ICW dan LPSK merasa terpanggil untuk ikut
terlibat dalam proses ini? Ataukah pemerintah kurang cermat dalam mengkalkulasi
dan mempertimbangkan kemampuan sarana dan prasarana penunjang pendidikan dalam
menetapkan standar kelulusan, sehingga beberapa pihak terpancing untuk
“menyelamatkan” peserta didik dalam ujian tersebut. Padahal Lembaga Pendidikan
merupakan lembaga suci dan sakral yang diharapkan bisa melahirkan generasi
bangsa yang bisa merubah wajah Indonesia di masa yang akan. Kalau di lembaga
ini sudah terjadi kecurangan, peserta didiknya sudah mulai diperkenalkan kepada
praktek yang tidak baik, lalu kepada siapa lagi bangsa ini bisa berharap.
Dalam Perang Dunia II, Jepang yang
awalnya begitu gagah menyerang Pearl Harbour luluh lantak oleh serangan bom
atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima. 220.000 nyawa melayang dalam
peristiwa tersebut. Seluruh sendi kehidupan Jepang hancur. Dalam kekakcauan
tersebut Kaisar Hirohito bertanya “Berapa orang guru yang masih hidup?”.
Pertanyaan Tenno Heika Hirohito ini sesungguhnya beranjak dari kesadaran bahwa
untuk membangun suatu bangsa, bahkan untuk bangkit dari kehancuran, pembangunan
mental dan karakter (Character Building) melalui peran seorang pendidik
dan lembaga pendidikan merupakan modal yang paling vital. Hal ini juga disadari
oleh WR. Supratman saat menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, sangat tepat
lirik “Bangunlah jiwanya” lebih didahulukan dari lirik “Bangunlah Badannya”.
Hal inilah yang mulai hilang pada saat ini, sudah banyak yang lupa bahwa
pembangunan aspek mental melalui contoh yang baik, jauh lebih penting dari pada
mengasah kecerdasan intelektual. Fokus dan perhatian yang terlalu besar
terhadap topeng dan asesoris membuat kita lupa dengan tujuan dan substansi. Inilah
mungkin yang melatarbelakangi tangisan Rasulullah saw. Saat ilmu pengetahuan
tidak lagi membuat manusia semakin dekat dengan Sang Penciptanya, saat
pendidikan tidak lagi bisa melahirkan manusia yang dengan santun membangun
peradaban bagi masyarakatnya.
Baca Selengkapnya >>
Senin, 02 Maret 2015
Makna Cincin Bagi Mereka
Demam cincin tengah mendunia.
Menjangkiti semua jenis manusia, mulai dari pejabat negara sampai rakyat
jelata, dari guru besar, pemuka agama sampai paranormal. Tidak salah memang
memakai cincin, bahkan Baginda Nabi, sahabat dan para ulama pun memakai cincin.
Tapi apakah makna cincin bagi mereka? Ini yang perlu diketahui.
Di dalam kitab Shahih Muslim
dijelaskan bahwa Nabi memiliki cincin yang terbuat dari perak dan batunya
berasal dari Habsyah. Di cincin Nabi tersebut terdapat tulisan “Muhammad
Rasulullah”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
disebutkan bahwa tatkala Nabi SAW hendak menulis surat kepada Romawi, maka
dikatakan kepada beliau, "Sesungguhnya mereka (kaum Romawi) tidak akan
membaca tulisanmu jika tidak distempel". Maka Nabi pun memakai
tulisan yang terpahat di cincin itu sebagai stempel. Dengan demikian, cincin
yang dipakai nabi, di samping sebagai perhiasan juga berfungsi sebagai stempel
kenabian.
Lain halnya dengan Umar bin
Khattab, Amirul Mukminin yang keberhasilannya dalam memimpin dikagumi kawan
atau lawan itu memiliki cincin yang bertuliskan “Kafa Binafsikal Maut Wa’ida
Ya Umar” (Cukup maut itu menjadi peringatan bagi engkau wahai Umar).
Melihat cincin bagi Umar berarti mengingat kematian, melihat batu cincin
mengingatkan ia akan batu nisan. Dan mengingat mati merupakan terapi yang
sangat jitu untuk menjauhkan diri dari godaan berbuat maksiat.
Bagi seorang pemimpin, yang
disibukkan dengan berbagai macam agenda, serta difasilitasi dengan segala
bentuk fasilitas, godaan untuk bersenang-senang dengan kemaksiatan memang lebih
besar dibanding rakyat biasa. Maka terapi jitu, seperti zikrul maut, yang bisa
menjauhkan mereka dari kemaksiatan menjadi sebuah keharusan. Apa yang dilakukan
Umar dengan cincinnya bisa menjadi salah satu alternatif dalam menjalani terapi
tersebut.
Imam Syafi’i juga memiliki cincin. Di cincinnya tertulis “al-‘ilmu nur” (ilmu itu adalah cahaya). Cincin menjadi sarana bagi Imam Syafi’i untuk memupuk kecintaannya terhadap ilmu. Sejarah perjalanan hidup Imam Syafi’i memberikan gambaran kepada kita akan dahsyatnya buah kecintaan beliau kepada ilmu yang senantiasa dipupuk. Di umur 7 tahun beliau hafal al-Qur’an, di usia 10 tahun hafal kitab al-Muwaththa’ dan di usia 15 tahun ia mendapatkan ijazah dari gurunya, mufti Kota Mekkah Muslim bin Khalid al-Zanji, untuk mengeluarkan fatwa. Kecintaan ini tidak memudar seiring berjalannya waktu, di usia 50 tahun, saat muridnya sudah menyebar di seantero negeri, ia tinggalkan Kota Bagdad, menuju Mesir, karena di negeri itu ia dengar ada seorang alim tempat menimba ilmu.
Baca Selengkapnya >>
PEREKONOMIAN PADA MASA RASULULLAH DAN AL-KHULAFA AL-RASYIDIN
I. Pendahuluan
Kegiatan
Dakwah Rasulullah dalam mengembangkan Islam dapat dibagi menjadi dua periode,
yaitu periode Mekkah dan Periode Madinah. Dalam periode Mekkah, kegiatan dakwah
Rasulullah SAW banyak dihadapkan kepada tekanan kaum kafir quraisy dan praktis
selama perode Mekkah Rasulullah SAW tidak menjalankan peran sebagai pemimpin negara.
Peran Rasulullah sebagai pemimpin negara dimulai pada periode Madinah. Dalam
perode ini, Rasulullah menjalankan fungsinya sebagai seorang negarawan, seperti
kegiatan beliau dalam menata kehidupan sosial masyarakat, mengatur tata
perekonomian negara dan meningkatkan kemakmuran masyarakat sebagai warga negara.
Kedatangan
Rasulullah ke Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib, seolah mempertemukan
dua hal yang saling membutuhkan. Rasulullah, selama di Mekkah, seolah tidak
menemukan lahan yang subur untuk mengembangkan dakwahnya. Sementara sebelum kedatangan Rasulullah SAW, situasi kota
Yatsrib sangat tidak menentu karena
tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah
berdiri dengan tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah
terbesar di kota
Yatsrib senantiasa
terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut
memelihara dan mengembangkan
ajaran Islam.
Setelah diangkat
sebagai kepala negara, Rasulullah SAW segera melakukan
perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial,
baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi,
maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang
bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Seluruh
aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qur’ani, seperti
persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Sebagai sebuah negara yang
baru lahir, maka persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan yang dihadapi
Rasulullah karena Madinah ketika itu belum mempunyai aset negara. Dari sini
peran Rasulullah dalam menata perekonomian umat Islam dimulai untuk kemudian
dilanjutkan oleh para penerusnya.
II.
Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan
kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah
dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar Sistem Keuangan Negara serta strategi ekonomi yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan
langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama
dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
Tujuan dan pencanangan strategis dalam
bidang ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi muslim memenuhi
kebutuhan hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam
kehidupan mereka. Perhatian Islam terhadap permasalahan ekonomi atau
penanggulangan masalah kemiskinan tidak bisa diperbandingkan dengan ajaran
agama samawi lain atau aturan manapun. Di dalam al-qur'an banyak sekali
ditemukan ayat-ayat yang menganjurkan memberi makan fakir miskin (mencukupi
kebutuhan mereka, baik pangan, papan maupun sandang), menyatakan bahwa dalam
harta si kaya terdapat hak si miskin dan lain sebagainya. Untuk itu, praktek
ekonomi atau muamalah yang tidak sesuai dengan prinsip tersebut dieliminasi
oleh Islam, seperti mengeliminasi praktek riba yang sudah sangat mengakar dalam
kehidupan masyarakat jahiliyah,[1]
mengakui dan menganjurkan praktek kerjasama yang saling menguntungkan kedua
belah pihak, seperti syirkah, mudharabah dan lain sebagainya serta
mewajibkan zakat untuk menutup jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin.[2]
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh
Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur'ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber
utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan
aktivitas di setiap aspek
kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi
hanya milik Allah semata dan manusia
diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dengan demikian, dalam
kegiatan ekonomipun manusia harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang
ditetapkan Allah, seperti tidak mempergunakan sumder daya ekonomi untuk hal
yang dilarang dan mempunyai perhitungan yang matang dalam mengeksploitasi alam.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai
Khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai
dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang
dagangan ataupun perdagangan, tetapi
hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau
tidak bermoral.
Allah Swt. telah menetapkan melalui
sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip Qur'ani tidak akan pernah
menjadikan seseorang kaya raya dalam
jangka waktu yang singkat. Oleh karena
itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti
perjudian, penimbunan kekayaan,
penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling
prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan
tegas dan keras melarang segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang.
Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang
diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan
menyesatkan karena praktek-praktek ribawi
merupakan bentuk eksploitasi yang
nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap
orang-orang miskin, oleh penjual
terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan
terhadap bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam
yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
1.
Allah Swt.
adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam
semesta. Manusia
hanyalah khalifah Allah Swt. di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
2.
Semua yang
dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah
Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian
kekayaan yang dimiliki saudaranya.
3.
Kekayaan harus
berputar dan tidak boleh ditimbun.
4.
Eksploitasi
ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus
dihilangkan.
5.
Menerapkan
sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi
berbagai konflik individu.
6.
Menetapkan
berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun
sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang
banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak
mampu.[3]
Keuangan dan Pajak
1.
Mata Uang
Bangsa arab di hijaz pada masa awal kedatangan
Islam tidak mengenal mata uang sendiri, mereka menggunakan mata uang yang
mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byzantium dan dirham perak Dinasti
Sasanid di Irak, dan sebagian mata uang Bangsa Himyar dari Yaman. Penduduk
Mekkah tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas yang tidak ditempa
dan tidak menerimanya kecuali dengan timbangan. Hal ini disebabkan karena
banyaknya penipuan pada mata uang mereka, misalnya nilai yang tertera melebihi
nilai yang sebenarnya. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti
ukuran timbangan prnduduk Mekkah ketika melakukan interaksi ekonomi.[4]
2.
Sumber-sumber
Pendapatan Negara
a.
Jizyah,
yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim,
khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta
milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib
militer. Jizyah disebut juga dengan Kharaj al-Ra's (pajak
kepala). Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang laki-laki
dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan,
anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari
kewajiban ini.[5]
b.
Kharaj, yaitu pajak atas tanah. Di zaman
Rasulullah Kharaj lebih mirip dengan Muzara`ah, di mana tanah
taklukan digarap oleh bangsa yang ditaklukkan dan hasilnya dibagi dengan kaum
Muslimin yang ikut dalam perang tersebut. Seperti tanah yang didapatkan dari
penaklukan Khaibar. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Rawahah
untuk menghitung hasil bumi kaum Khaibar[6]
c.
Khums, yaitu seperlima dari
harta rampasan perang.di zaman jahiliyah, harta rampasan perang yang diambil
oleh penguasa adalah seperempat, akan tetap hal itu diperbaiki oleh Islam dan
dijadikan seperlima. Empat per lima
sisanya diserahkan kepada tentara yang ikut perang. Pada umumnya, Rasulullah SAW Membagi khums menjadi 3 bagian
pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan
bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin serta para musafir.
Khums mulai ditetapkan pada tahun kedua hijrah melalui surat al-Anfal ayat [7]
d.
Zakat, Syariat zakat sudah ada
sejak periode Mekkah, seperti perintah zakat yang terdapat dalam surat
Makkiyah, seperti Rum ayat 38-39, Luqman ayat 4, al-Mu'minun ayat 4, al-Naml
ayat 1-3, al-A`raf ayat 256-157, dan Fushshilat ayat 6-7. akan tetapi zakat
yang diwajibkan di Mekkah hanyalah zakat mutlak yang tidak memiliki syarat dan
batasan tertentu. Pelaksanaan zakat hanya ditentukan oleh keimanan individu
serta perasaan kewajiban mereka terhadap sesama.[8]
Pada tahun kedua Hijriyah, Allah Swt. mewajibkan
kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju
lembut, atau kismis; atau setengah sha'
gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka,
laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan
Shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin
stabil, tahap selanjutnya Allah Swt. mewajibkan zakat mal (harta)
pada tahun kesembilan Hijriyah.
Zakat sendiri disyariatkan dalam syariat Islam dengan tujuan pemerataan
ekonomi, sehingga jurang si kaya dan si miskin tidak terlalu lebar
Di samping pendapatan di atas, ada juga sumber pendapat Negara
yang bersifat sekunder, seperti :
a.
Uang tebusan tawanan perang,
khususnya pada perang Badar
b.
Khumus (seperlima) dari harta rikaz
c.
Amwal al-Fadilah, yaitu harta kaum
muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
d.
Wakaf
e.
Nawa'ib, yaitu pendapatan berupa Sedekah
dari Muslim dan Non Muslim dalam masa darurat.[9]
Dalam beberapa kasus, Rasulullah mengumpulkan sedekah dari para sahabat untuk
memenuhi kebutuhan Negara. Seperti mengumpulkan harta untuk biaya perang.
Seperti yang terjadi ketika kaum Muslimin menghadapi perang tabuk. Saat itu devisa
negara habis dan para sahabat berlomba-lomba untuk menyumbangkan hartanya. Dalam
perang tersebut Usman ibn Affan menyumbangkan harta sebanyak 1.000 dinar.[10]
Sumbangan dari Non-Muslim merupakan kesapakatan yang dicapai oleh Rasulullah
dengan Non-Muslim Madinah, dalam salah satu poin Piagam Madinah disebutkan
bahwa Kaum Muslimin dan Yahudi berkewajiban menafkahi diri mereka
masing-masing, akan tetapi bila terjadi
perang keduanya bertanggung jawab untuk menanggung biaya perang.[11]
Pemasukan di zaman Rasulullah tersebut dikelola oleh para
sahabat yang dianggap mampu untuk itu. Untuk mencatat ghanimah di zaman
Rasulullah ditunjuk Mu`aiqib ibn Abi Fatimah. Untuk menarik zakat dari para
raja ditunjuk Abdullah ibn al-Arqam. Untuk menarik zakat di daerah ditunjuk
orang tertentu yang kebanyakan berasal dari daerah tersebut, seperti Harts ibn
Dharar yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat kaumnya.[12]
Adapun yang
bertugas untuk mencatat pemasukan dari zakat ditunjuk Zubair ibn Awwam dan
Juhaim ibn Shalt. Sementara Mughirah ibn Syu`bah dan Hashim ibn Namir diberi
tugas untuk mencatat utang piutang dan transaksi mu`amalah.[13]
Zakat dan pemasukan lain dikelola secara terpisah karena zakat dan pajak
mempunyai sasaran yang berbeda.
Pengeluaran Negara
Tidak banyak literatur yang bisa
dijadikan rujukan untuk melacak pengeluaran Negara (expenditure) di
zaman Rasulullah. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan
kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan
dengan baik dan benar. Di antara pengeluaran di zaman Rasulullah adalah :
a. Gaji Pegawai, seperti wali, qadi, guru, imam, muadzdzin,
dan pejabat pemerintah lainnya. Rasulullah senantiasa memilih pegawai dari
sahabat-sahabat yang kaya, kebanyakan dari mereka berasal dari Bani Umayyah,
dengan tujuan untuk mengirit pengeluaran di masa itu karena pejabat kaya tidak
mengharapkan gaji dari jabatan mereka. Pada saat itu para pegawai digaji 1
dirham setiap hari dan banyak di antara sahabat tersebut yang dengan kerelaan tidak
menerima gaji itu.[14]
b. Pembayaran upah sukarelawan
c.
Biaya pertahanan dan keamana (militer)
d.
Pembayaran utang Negara
e.
Bantuan untuk
para Musafir
f.
Penerimaan dari
zakat disalurkan sesuai dengan aturan al-Qur'an, yaitu diserahkan kepada asnaf
yang telah ditetapkan. Rasulullah senantiasa memberikan perintah
yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan
zakat. Dalam kebanyakan kasus, ia menyerahkan pencatatan penerimaan
harta zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perhitungan yang ada
di simpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima
oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada
kasus al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Sulaim. Berkaitan dengan
pengumpulan zakat ini; Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap
zakat harta, terutama zakat unta.
Hasil pengumpulan kharaj
dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran
yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya.
Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya,
orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar
daripada orang yang belum menikah.[15]
Di samping pengeluaran di atas, ada juga
pengeluaran negara yang bersifat sekunder, seperti :
a. Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah (Bea
Siswa)
b.
Hiburan untuk para delegasi keamanan
c.
Hiburan untuk para utusan suku dan negara
serta untuk biaya transfortasi mereka
d.
Hadiah untuk pemerintah negara lain
e.
Penebusan kaum muslimin yang menjadi
budak
f.
Pembayaran diyat bagi orang
yang terbunuh oleh pasukan muslim
g.
Pembayaran utang orang yang meninggal
dalam keadaan miskin
h.
Tunjangan orang miskin
i.
Tunjangan untuk sanak saudara
Rasulullah
j.
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah
(hanya sedikit, yaitu 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap
isterinya).[16]
Baitul Mal
Sebelum Islam hadir di
tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang sebagai
satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara.
Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin
serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini
berarti, sebelum Islam datang, tidak
ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Dalam negara Islam, tampuk
kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perintah Al-Qur’an. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW
sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. la tidak
menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara
tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
Namun, tidak disebutkan adanya
seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di
lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan
yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran
yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun.
[17]
III.
Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Al-Khuulafa Ar Rasyidun
A. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu
Bakar Al-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu
Bakar Al-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi
terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan
pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar
Al-Shiddiq banyak menghadapi
persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia
memutuskan untuk memerangi kelompok
tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (Perang
Melawan Kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan
urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia
yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum
usaha ini selesai dilakukan.[18]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan
Abu Bakar Al-Shiddiq,
harta Baitul Mal yang berada di bawah pengawasan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah[19]
tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu
yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq
wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh
kaum Muslimin diberikan bagian yang sama
dari hasil pendapatan negara. Apabila
pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang
dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan
tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate
supply yang pada akhirnya akan menaikkan
total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya
dengan yang miskin.
B.
Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak
melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab,
sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir),
serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas
keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the
Saint Paul of
Islam.[20]
Di samping itu, Umar juga banyak melakukan terobosan
di bidang ekonomi. Sehingga pada Masa Umar keuangan dan ekonomi negara dikelola
secara teratur dan professional.
1.
Pendirian
Lembaga Baitul Mal
Baitul Mal sudah ada sejak masa
Nabi. Akan tetap fungsinya hanya sebagai tempat persinggahan harta sementara
sebelum dibagikan kepada fakir miskin. Di masa Umar Baitul Mal berfungsi
sebagai simpanan Aset Negara. Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi
Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu
menjabat sebagai Gubernur Bahrain
dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000
dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. oleh karena jumlah tersebut sangat
besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah
para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah
melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak
mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk
keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga
membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur
dalam mengelola harta Baitul Mal. Lembaga keuangan di zaman
Umar bersifat terpisah dan independent dari kekuasaan eksekutif.[21]
Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta
umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai
otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung
jawab langsung kepada pemerintah pusat. Untuk mengelola administrasi
keuangan di Baitul Mal, Umar menunjuk orang-orang Persia yang memang dikenal sebagai
orang-orang yang handal dalam masalah administrasi dan pembukuan.[22]
Untuk mendistribusikan harta
Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa
departemen yang dianggap perlu, seperti :
a)
Departemen
Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan
dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
b)
Departemen
Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji
para hakim dan pejabat eksekutif.
c)
Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan
bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya,
seperti guru dan juru dakwah.
d)
Departemen
Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan
kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[23]
2.
Kepemilikan
Tanah
Selama pemerintahan Khalifah
Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya
daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan
maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan
baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan
apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang
berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara
dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar
tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut.
Muadz bin Jabal, salah seorang di
antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan.
Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja”. Di samping
itu pembagian tanah kepada orang yang ikut perang akan melahirkan tuan tanah
yang memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Umar memutuskan
bahwa tanah tersebut tetap ada dan diambil pajaknya (Kharaj). Sehingga
dengan demikian pemerintah mempunyai sumber penghasilan tetap.[24]
Untuk kebijakan pengelolaan
hasil Kharaj, diserahkan kepada Pemerintahan Provinsi, maka tidak
mengherankan kebijakan tentang pengelolaan keuangan di masa Umar berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain. Seperti :
a)
Wilayah Irak
yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
b)
Kharaj dibebankan
kepada semua tanah yang berada di bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
c)
Bekas pemilik
tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
d)
Tanah yang tidak
ditempati atau ditanami (tanah mati) atau
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
e)
Di Sawad, kharaj
dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
f)
Di Mesir,
berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gan
dum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gan
dum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
g)
Perjanjian
Damaskus (Syria)
berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
Khalifah Umar juga mempunyai kebijakan untuk
mengkhususkan tanah pertanian untuk dimanfaatkan oleh fakir miskin.[25]
3.
Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah
kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh
kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan
jihad. di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena
zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas,
seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak
dikenakan zakat.
Pada masa Umar, Gubernur Thaif
melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi
menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan
bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi.
Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.
Zakat yang ditetapkan adalah
seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu
jenis kedua.
4.
Ushr
Sebelum Islam datang, setiap
suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr)
jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu
dirham untuk setiap transaksi. Namun,
setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara
yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan
menghapus bea masuk antar provinsi
yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk
dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Dengan
demikian, di masa Nabi dan Abu Bakar, Pemerintah belum menarik Ushur
dari pedagang luar yang masuk negara Islam. Akan tetapi di masa Umar hal ini
sudah diterapkan terhadap pedagang kafir yang berdagang atau lewat di daerah
Islam.[26] Hal ini dilakukan
Umar, karena pedagang Muslim dikenai bea cukai (ushur) apabila masuk
daerah kafir. Di samping itu, hal ini juga dengan pertimbangan kemaslahatan
kaum muslimin, terutama para pedagangan muslim.
5.
Sedekah dari
non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar
sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang
keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka
membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan
suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah
kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak
membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
Nu’man ibn Zuhra memberikan
alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana
memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya
keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka
dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan
syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau
memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk
membayar sedekah ganda.
6.
Penggalian Kanal
Kebijakan ekonomi lain yang dirancang oleh Khalifah
Umar ibn Khattab adalah menggali kanal untuk mempermudah proses ekspor-impor
barang dari Mesir ke Hijaz. Kanal digali dari Sungai Nil menuju Qalzam (laut
merah). Kanal yang digali Umar itu dikenal dengan Teluk Amirul Mukminin.
Keberadaan kanal ini memberikan konstribusi yang besar dalam perkembangan
perekonomian kaum muslimin ketika itu.[27]
7.
Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa
pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan
berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar,
sebuah koin emas, dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah
sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau
seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu
dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.
Pada masa Umar, seiring dengan meningkatnya volume
perdagangan. Uang wesel
atau cek sudah muali dikenal dalam transaksi perdagangan. Seperti ketika Umar
mengimpor sejumlah barang dagangan dari Mesir. Karena jumlahnya banyak dan
proses distribusinya terhambat, maka Umar menerbitkan Cek untuk itu.[28]
7.
Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di
muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara
adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada
masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi
pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
v Pendapatan zakat. Pendapatan ini
didistribusikan di tingkat lokal dan untuk ashanaf yang telah
ditentukan al-Qur'an. Jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan
di Baitul Mal pusat untuk kemudian dibagikan kepada delapan ashnaf. Desentralisasi
pengelolaan zakat merupakan salah satu terobosan yang dilakukan Umar dalam
bidang ekonomi.
v Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini
didistribusikan
kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan
mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau
bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus,
Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita
penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada
orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah
dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan
mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau
bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus,
Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita
penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada
orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah
dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
v Pendapatan kharaj, fai, jizyah, 'ushr (pajak
perdagangan), dan sewa
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
v Pendapatan
lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar
para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[29]
para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[29]
8.
Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran
dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling
penting. Prioritas berikutnya adalah dana
pertahanan negara dan dana pembangunan.
Seperti yang telah dijelaskan,
Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk
rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H
dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan
untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan
kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata
dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah
berjasa. Di
samping itu, ahlul bait Rasul juga mendapatkan perhatian dari Umar.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada
para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan
kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab
membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit
atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat
orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan
para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam
perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup
kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke
dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[30]
Di masa Umar juga telah dilaksanakan
pengawasan terhadap keuangan negara. Bahkan Umar telah mempraktekkan
pemeriksaan kekayaan pejabat pemerintah. Untuk hal yang satu ini beliau tidak
pandang bulu. Sahabat-sahabat utama seperti Abu Hurairah, Amr ibn Ash, Khalid
ibn Walid dan lain sebagainya tidak luput dari pemeriksaan Umar. Hal ini
mungkin dilakukan Umar karena beliau sendiri sangat wara` daam menggunakan
fasilitas Negara.[31]
Di samping itu, Umar juga menunjuk Muhammad ibn Maslamah untuk menerima
pengaduan dari masyarakat.[32]
Selama masa jabatannya, Umar telah berhasil membangun
perekonomian masyarakat Islam, di masanya ada jaminan sosial bagi anak yatim,
fakir miskin dan orang-orang jompo. Di samping itu, tunjangan dan subsidi di
masa Umar telah membangkitkan perekonomian masyarakat. Diriwayatkan, salah
seorang ummahatul mukminin bisa mengeluarkan zakat dari harta tunjangan yang
diberikan Umar. Hal ini bisa terjadi karena Umar telah mengembangkan
perekonomian dalam bingkai takwa. Mengembangkan perekonomian yang penuh dengan
musyawarah dan fleksibilitas tetapi mempunyai acuan yang jelas. Mengembangkan
perekonomian yang berbasis sosial akan tetapi mempunyai pengawasan yang ketat
dan lain sebagainya.[33]
C. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman
ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung selama 12 tahun, terlama di antara para khulafa
al-Rasyidin, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari
Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah
Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa
pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan
mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan
sumber daya
alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan
pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah
komando Muawiyah, hingga berhasil
membangun supremasi kelautannya di wilayah
Mediterania.._Laodicea-dan wilayah di Semenanjung Syria,
Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman
ibn Affan harus menanggung beban
anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara
angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di
bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat,
Khalifah Utsman ibn Affan men-delegasikan kewenangan menaksir harta
yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah
dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul
zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat
hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong
seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga mengurangi zakat
dari dana pensiun.
Memasuki enam tahun kedua masa
pemerintahan Utsman ibn ‘Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang
cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn ‘Affan yang banyak
telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin.
Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan
politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khlifah.[34]
D. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintah Khalifah Ali bin
Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali
ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah
diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya
diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari
pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan
pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin
solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang
sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang
pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya
yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta
tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas
pelaksanaan dispensasi keadilan serta
pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan kelebihan
dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[35]
Hal lain yang perlu dicatat selama pemerintahan Ali
adalah kebijakan beliau untuk mengeluarkan Uang Cetakan dalam pemerintahan
Islam ketika itu. Setelah Persia
ditaklukkan, kaum muslimin mulai diperkenalkan kepada teknologi percetakan
uang. Pada masa pemerintahan Ali untuk pertama kalinya secara resmi uang
dicetak dengan menggunakan nama pemerintah Islam.[36]
Untuk tunjangan dana pensiun, Ali mempunyai kebijakan
yang sama dengan Abu Bakar. Beliau tidak membedakan antara sahabat atau kaum
muslimin berdasarkan tingkat keimanan dan dahulunya mereka masuk Islam.
Menurutnya masalah keimanan hanyalah Allah yang bisa menentukan. Kebijakan
beliau ini berbeda dengan kebijakan Umar, yang memberikan tunjangan yang
berbeda kepada para sahabat sesuai dengan ontribusinya terhadap perkembangan
Islam.
[1] Pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap, hal ini dikarenakan
praktek riba sudah sangat mengakar kuat dalam masyarakat jahiliyah sehingga
akan menimbulkan resistensi yang kuat dari berbagai pihak kalau diharamkan
dalam satu tahap saja. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa'i` al-Bayan fi
Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta
: Dinamika Berkah Utama, th), h. 391.
[2] Ahmad Ibrahim Abu Abu Sinn, Manajemen syariah, terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006). h. 88.
[3] Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : RPT Raja
Grafindo Persada, 2004). H. 36.
[4] Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007). h.
49.
[5] Ahmad Shurbasyi, Mu`jam Iqtishad al-Islami, (Kairo : Dar
el-Jil, th), h. 95.
[6] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 79.
[7] Ahmad Shurbasyi, op. cit., h. 141.
[8] Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat Juz I, (Beirut : Mu'assasah
Risalah, 1973). h. 61.
[9] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 45-48.
[10] Abdul Khaliq Abu Dabiah, Ma`a al-khulafa' al-Rasyidin, h.
76.
[11] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit.,, h. 85.
[12] Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Semarang : Usaha Keluarga,
th). h. 318.
[13] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit h. 35.
[14] Ibid, h. 35.
[15] Adiwarman Karim, op. cit h. 48.
[16] Ibid
[17] Ibid, h. 51-52.
[18] Ibid, h. 54-55.
[19] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit, h. 38.
[20] Julukan ini diberikan juga karena Umar dan Paul (Paulus) mempunyai
masa lalu yang sama, yaitu sama-sama penentang agama yang kemudian dibelanya.
[21] Ibid, h. 43.
[22] Adiwarman A Karim, op. cit h. 160.
[23] Ibid, h. 62.
[24] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 42.
[25] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 65-68.
[26] Quthb Ismail Muhammad, op. cit., h. 100.
[27] Manajemen Syari`ah. H. 89.
[28] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 161.
[29] Ibid, h. 73-74. Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h.
108.
[30] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 74-78.
[31] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 158-180. Abu Ubaid
Qasim ibn Salam, al-Amwal, (Beirut
: Dar al-Huquq, th). h. 342-343.
[32] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit., h. 41.
[33] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 220-240.
[34] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 78-82.
[35] Ibid, h. 82-85.
[36] Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa uang cetakan sudah ada
sejak masa pemerintahan Umar dan Usman, akan tetapi tidak ada bukti sejarah
yang kuat yang bias mendukung pendapat tersebut. Lihat Adiwarman Karim, op.
cit., h. 164.
Baca Selengkapnya >>
Langganan:
Postingan (Atom)