Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Selasa, 07 April 2015

Aku Ingin Diutus Sebagai Rahmat (Da'wah Ke Tha'if ~Syawal Tahun 10 Kenabian/Akhir Mei 619 M)


 Sepuluh hari kekasih Allah itu menyusuri Kota Tha'if, ia ketuk pintu rumah dan hati penduduk kota yang berjarak lebih kurang 60 Mil dari Kota Mekkah itu. Ia temui tiga bersaudara pemimpin kota tersebut, Abu Yala'il, Mas'ud dan Hubaib Bin Amr al-Tsaqafy. Tapi yang ia terima tidak seindah yang ia harapkan, yang ia rasakan tak semanis yang ia bayangkan. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Tirai Ka’bah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang Rasul’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah Tuhanmu tak punya orang lain untuk diutus?’, dan yang terakhir berujar, ‘Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan seorang pendusta!’. Ia dihina, diusir bahkan dilempari dan dikejar oleh penduduk kota yang berjuluk Sepotong Syam yang Jatuh di Hijjaz.

 Tiga mil ia berlari, hingga sampai di kebun anggur milik putra-putra Rabi’ah. Tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur saat penduduk Tha'if yang mengejarnya sudah hilang dari pelupuk mata. Dengan senyum yang tertengadah ke langit namun airmata melelehi pipinya yang mulia, ia mengadu kepada Penciptanya.

اللهم أشكو إليك ضعف قوتي، وقلة حيلتي، وهواني على الناس. يا أرحم الراحمين أنت رب المستضعفين وأنت ربي. إلى من تكلني؟ إلى عدو ملكته أمري! أم بعيد يتجهمني؟ إن لم يكن بك غضب عليّ فلا أبالي. ولكن عافيتك أوسع لي. أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت به الظلمات، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة، أن تنزل بي غضبك، أو تحل علي سخطك. لك العتبى حتى ترضى، ولا حول ولا قوة إلّا بك

Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah yang sedang ada di kebunnya merasa iba melihat keadaan cucu ‘Abdul Muthalib itu. “Hai Addas”, panggil salah satu di antara keduanya kepada seorang pembantu, “Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”
Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah seri itu menyebut nama Allah.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ucap Rasulullah sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas menggeleng dan tersenyum.
“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini”, kata Addas.
“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri seorang shalih bernama Yunus ibn Matta?”, tanya Sang Rasul dengan penuh minat begitu Adas menyebut nama negeri asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar membuatnya tertarik.
“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?”, tanya Addas.
Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan akupun seorang Nabi.”
Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah. Dikecupnya dahi beliau dengan penuh cinta, diciumnya tangan beliau dengan penuh hormat, dan dikecupnya kaki beliau dengan penuh khidmat. Melihat kejadian itu Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Allah”, kata Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”

Setelah lelahnya mulai mereda, dengan kegundahan dalam hati ia lanjutkan perjalanan, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’alib (Qarn al-Manazil) ia angkat kepala, Ia lihat kekasih sekaligus gurunya, Jibril, bersama Malaikat penjaga Gunung Abu Qubais dan Qu'aiqi'an, dua gunung yang berjuluk Akhsyaban, Gunung kokoh yang menjulang tinggi. ‘Sesungguhnya’, kata Jibril dengan suara yang memenuhi ufuk, ‘Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu.”

Lalu malaikat penjaga gunung menimpali, ‘Ya Rasulallah, ya Nabiyyallah, ya Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu.’
“Tidak”, kata laki-laki mulia berhati lembut itu, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”

 Raganya mengucurkan darah hingga membasahi sandalnya, jiwanya lelah, batinnya terluka, namun harapannya tak pernah sirnah dan yang tumpah tetaplah cinta.



Baca Selengkapnya >>

Minggu, 22 Maret 2015

Mulai Dari Diri Sendiri





2 tahun 5 bulan, itulah waktu yang dibutuhkan Umar bin Abdul Aziz untuk menggelar keadilan dan kemakmuran di seantero wilayah Islam, menghadirkan kembali nuansa kehidupan 'ala minhajin nubuwah. Di usia 34 tahun, usia yang sangat belia untuk ukuran seorang pemimpin, ia berhasil mengantarkan kesejahteraan kepada rakyatnya yang menyebar mulai dari Jazirah Arab, Persia, Afghanistan, Afrika Utara, Spanyol, Asia tengah, sampai Pakistan dan Anak Benua India. Dari manakah ia memulai kerja besar ini? Apakah resep yang ia punya sehingga berhasil mengukir karya gemilang dalam waktu relatif singkat?

"Kini tiba giliranmu, isteriku,” kata Umar bin Abdul Aziz suatu saat kepada isterinya. “Perbaikan dan reformasi Dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri, Selanjutnya adalah giliranmu, Kemudian anak-anak, dan setelah itu keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmmu ke kas Negara.”

Istrinya langsung angkat kepala. “ Tidak Umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, abdul Malik bin marwan.“ Umar terdiam sejenak, lalu menjawab, “tapi uang membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah!“ dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.

Beberapa saat Umar tertunduk, terpekur. Tantangan untuk mewujudkan i'tikad mulia itu justru datang dari orang terdekat dan paling ia cintai. Umar pun bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan: kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.“ Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. Ia memilih untuk terus bersama Umar.

Dari sinilah Umar bin Abdul Aziz memulai karya besarnya, ia perbaiki dirinya terlebih dahulu, lalu keluarga terdekat. Baru setelah itu bisa mempersembahkan perubahan dan perbaikan bagi rakyatnya. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sesungguhnya merupakan implementasi dari pesan Rasulullah saw, Ibda’ Bi Nafsik, mulailah dari dirimu, demikian Rasulullah berkata suatu kali kepada para sahabatnya.

Sebagai penutup, kutipan hikmah di bawah ini layak kita renungkan.
“Ketika aku muda, aku ingin mengubah seluruh dunia. Lalu aku sadari, betapa sulit mengubah seluruh dunia ini. Maka aku putuskan untuk mengubah negaraku saja. Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku. Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri. Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.”



Baca Selengkapnya >>

Minggu, 08 Maret 2015

CINCIN UMAR BIN KHATTAB


Umar bin Khattab, tidak perlu banyak narasi untuk memperkenalkan sosok ini, namanya sudah sangat familiar di telinga dan sudah sangat sering tercatat di dalam lembar sejarah. Ia adalah pemimpin besar dalam sejarah Islam, di kalangan non muslim ia dikenal sebagai Saint Paul of Islam. Kharisma dan wibawanya luar biasa, kesederhanaannya dikagumi, dan sejarah kepemimpinannya menjadi legenda.
Dari sekian banyak cerita mengenai sosok Umar bin Khattab, ada satu sisi yang menarik diperbincangkan dari diri beliau di saat demam batu akik menjangkiti segala jenis manusia pada hari ini. Umar bin Khattab memiliki cincin yang berpahatkan kata “Kafa Bi Nafsika al-Maut Wa’ida Ya Umar” (cukup maut menjadi peringatan bagi engkau Wahai Umar). Melihat cincin berarti mengingat kematian, melihat batu cincin mengingatkan ia akan batu nisan.
Mengingat mati merupakan terapi yang sangat jitu untuk menjauhkan diri dari godaan berbuat maksiat. Rasulullah pun sering memperingatkan umatnya untuk memperbanyak Zikrul Maut (mengingat kematian). Karena itu, terapi Zikrul Maut layak dicoba, terutama bagi orang-orang yang larut dalam kemewahan hidup dunia atau terlena karena terlalu lama berlomba mengejar posisi duniawi.
Lalu apa hubungan cincin Umar bin Khattab dengan kondisi yang sedang dihadapi Indonesia pada saat ini? Beberapa waktu yang lalu Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, di akun twitternya mengatakan bahwa di balik prahara yang melanda Bangsa Indonesia pada saat ini, ternyata banyak kisah dan drama yang berkaitan dengan nafsu untuk meraih kekuasaan. Nafsu untuk meraih kekuasaan inilah yang membuat bangsa ini seolah kehilangan adab dan jati diri. Dengan demikian, birahi kekuasaan ini perlu dikendalikan agar seseorang tidak menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya. Seseorang yang dikuasai oleh birahi duniawi, maka amanah, seperti apapun bentuknya, hanya akan mendatangkan kehancuran.
Sesaat setelah menerima amanah untuk memimpin kaum muslimin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemimpin besar lain yang juga merupakan cicit Umar bin Khattab, meminta nasehat kepada seorang ulama besar, Hasan al-Bashri. Nasehat singkat melalui sepucuk surat diberikan oleh Sang Imam "Amma ba'du. Durhakailah hawa nafsumu! Wassalam.”
Tulisan ini tidak hendak menggiring kita untuk memakai cincin, tulisan ini juga tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap penerbitan perda batu akik. Tulisan ini hanya hendak menyampaikan, bahwa Zikrul Maut merupakan salah satu terapi untuk menjauhkan diri dari dorongan berbuat maksiat, menjadi benteng diri dari godaan syahwat duniawi. Mengapa Umar bin Khattab tak tergoda menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi? Salah satu jawabannya adalah karena Umar bin Khattab sadar bahwa kehidupan dunia akan berakhir dengan kematian dan kematian adalah awal pertanggungjawaban di hadapan Allah swt terhadap segala perbuatan yang pernah dilakukan semasa hidup di dunia.
Banyak cara dan media yang bisa digunakan untuk mengingat mati, silahkan pilih media yang sesuai dengan keseharian kita, apakah dengan i’tikaf, mendengar tausiyah agama, tadabbur alam dan merenungi kandungan ayat suci al-Qur’an, atau seperti Umar bin Khattab, menjadikan cincin sebagai salah satu media untuk mengingat mati.
Wallahu a’lam



Baca Selengkapnya >>

Selasa, 03 Maret 2015

MENGAPA ENGKAU MENANGIS YA RASULULLAH?


Mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya. -George Santayana.
Dengan berlinang air mata, Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah pernah berkisah tentang peristiwa paling berkesan yang ia lalui bersama Rasulullah saw. Suatu malam Rasulullah saw masuk ke kamar Aisyah, berbaring di sisinya bahkan masuk ke dalam selimut Aisyah. Dengan lembut kemudian ia berbisik ke telinga Aisyah: “Wahai Aisyah, apakah engkau rela sepanjang malam ini aku habis untuk beribadah kepada Tuhanku?”, walau hati kecilnya ingin selalu bersama Rasulullah saw, akan tetapi Aisyah dengan tulus mengatakan, bahwa ia juga merelakan dan menyukai setiap apa yang ingin dilakukan Baginda Rasul.
Lalu peristiwa hebat itu terjadi, Rasul segera berdiri dan mengambil wudhu’. Kemudian beliau shalat dan menangis sejadi-jadinya sampai baju dan sajadahnya basah bermandikan air mata. Tangisan itu berlangsung sampai subuh saat Bilal bin Rabah datang untuk mengumandangkan azan. Setelah Azan Bilal bertanya : “Ya Rasul. Mengapa Engkau menangis padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Engkau yang telah berlalu dan yang akan datang (jikalau ada)?” Rasul menjawab “Wahai Bilal, apakah aku tidak senang kalau disebut Hamba yang Bersyukur? Kemudian ia melanjutkan “Bagaimana saya tidak menangis Wahai Bilal, tadi malam Allah menurunkan ayat al-Qur’an kepadaku “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran 190-191).
Setelah membaca ayat ini Rasul pun berkata “Wahai Bilal ! celakalah umatku yang pernah membaca ayat ini namun tidak pernah mau merenungi kandungan ayat ini”
Surat Ali Imran dan penggalan cerita di atas merupakan peristiwa yang harus menjadi renungan bagi setiap kita. Mengapa Rasul menangis dan pesan apa sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 di atas? Ada dua hal yang disebutkan Allah swt dalam ayat di atas, yaitu penciptaan langit dan bumi (Khalq al-Samawat wa al-Ardh) dan pergantian siang dan malam (Ikhtilaf al-Lail wa al-Nahr). Dua hal ini merupakan instrumen bagi manusia sebagai makhluk yang dibekali akal untuk mengenal dan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Yatafakkaru Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh artinya belajar dalam arti yang sangat luas termasuk belajar di lembaga pendidikan, sementara Ikhtilaf al-Lail wa al-Nahr merupakan isyarat agar manusia mau mengambil i’tibar dari perjalanan waktu dan catatan sejarah. Dua hal ini, yaitu ilmu (pendidikan) dan pengalaman, hendaknya membuat manusia semakin khusyu’ dalam zikirnya, semakin tahu akan kelemahan sekaligus kewajibannya sebagai seorang hamba, sebab jika tidak, maka sesungguhnya manusia telah lalai dalam menggunkan potensi yang paling berharga yang dimilikinya, yaitu akal (Lubb/Albab).
Proses belajar mengajar (Yatafakkaru Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh) saat ini dilaksanakan secara terencana di lembaga pendidikan, idealnya, hal ini akan melahirkan manusia yang semakin tunduk, semakin tahu dengan keberadaannya sebagai makhluk ciptaan Allah swt, semakin bermoral dan semakin bermanfaat bagi orang lain. Bukan sebaliknya, menjadi manusia yang semakin angkuh dengan ilmu yang ia miliki dan semakin zalim terhadap orang lemah yang ada di sekitarnya.
Pembinaan aspek moral di lembaga pendidikan akhir-akhir ini menjadi pembicaraan dan sorotan seiring meunculnya pemberitaan di media tentang kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam proses Ujian Nasional. Isu kecurangan tersebut bahkan menarik lembaga seperti ICW (Indonesia Corruption Watch) untuk membuka posko pengaduan kecurangan UN (Suara Merdeka, 23/4) dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam keselamatan saksi yang melaporkan jika hal itu memang terjadi (Republika, 23/4).
Sebegitu parahkah kecurangan yang terjadi, sehingga lembaga seperti ICW dan LPSK merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam proses ini? Ataukah pemerintah kurang cermat dalam mengkalkulasi dan mempertimbangkan kemampuan sarana dan prasarana penunjang pendidikan dalam menetapkan standar kelulusan, sehingga beberapa pihak terpancing untuk “menyelamatkan” peserta didik dalam ujian tersebut. Padahal Lembaga Pendidikan merupakan lembaga suci dan sakral yang diharapkan bisa melahirkan generasi bangsa yang bisa merubah wajah Indonesia di masa yang akan. Kalau di lembaga ini sudah terjadi kecurangan, peserta didiknya sudah mulai diperkenalkan kepada praktek yang tidak baik, lalu kepada siapa lagi bangsa ini bisa berharap.
Dalam Perang Dunia II, Jepang yang awalnya begitu gagah menyerang Pearl Harbour luluh lantak oleh serangan bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima. 220.000 nyawa melayang dalam peristiwa tersebut. Seluruh sendi kehidupan Jepang hancur. Dalam kekakcauan tersebut Kaisar Hirohito bertanya “Berapa orang guru yang masih hidup?”. Pertanyaan Tenno Heika Hirohito ini sesungguhnya beranjak dari kesadaran bahwa untuk membangun suatu bangsa, bahkan untuk bangkit dari kehancuran, pembangunan mental dan karakter (Character Building) melalui peran seorang pendidik dan lembaga pendidikan merupakan modal yang paling vital. Hal ini juga disadari oleh WR. Supratman saat menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, sangat tepat lirik “Bangunlah jiwanya” lebih didahulukan dari lirik “Bangunlah Badannya”.
Hal inilah yang mulai hilang pada saat ini, sudah banyak yang lupa bahwa pembangunan aspek mental melalui contoh yang baik, jauh lebih penting dari pada mengasah kecerdasan intelektual. Fokus dan perhatian yang terlalu besar terhadap topeng dan asesoris membuat kita lupa dengan tujuan dan substansi. Inilah mungkin yang melatarbelakangi tangisan Rasulullah saw. Saat ilmu pengetahuan tidak lagi membuat manusia semakin dekat dengan Sang Penciptanya, saat pendidikan tidak lagi bisa melahirkan manusia yang dengan santun membangun peradaban bagi masyarakatnya.



Baca Selengkapnya >>

Senin, 02 Maret 2015

Makna Cincin Bagi Mereka

Demam cincin tengah mendunia. Menjangkiti semua jenis manusia, mulai dari pejabat negara sampai rakyat jelata, dari guru besar, pemuka agama sampai paranormal. Tidak salah memang memakai cincin, bahkan Baginda Nabi, sahabat dan para ulama pun memakai cincin. Tapi apakah makna cincin bagi mereka? Ini yang perlu diketahui.
Di dalam kitab Shahih Muslim dijelaskan bahwa Nabi memiliki cincin yang terbuat dari perak dan batunya berasal dari Habsyah. Di cincin Nabi tersebut terdapat tulisan “Muhammad Rasulullah”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa tatkala Nabi SAW hendak menulis surat kepada Romawi, maka dikatakan kepada beliau, "Sesungguhnya mereka (kaum Romawi) tidak akan membaca tulisanmu  jika tidak distempel". Maka Nabi pun memakai tulisan yang terpahat di cincin itu sebagai stempel. Dengan demikian, cincin yang dipakai nabi, di samping sebagai perhiasan juga berfungsi sebagai stempel kenabian.
Lain halnya dengan Umar bin Khattab, Amirul Mukminin yang keberhasilannya dalam memimpin dikagumi kawan atau lawan itu memiliki cincin yang bertuliskan “Kafa Binafsikal Maut Wa’ida Ya Umar” (Cukup maut itu menjadi peringatan bagi engkau wahai Umar). Melihat cincin bagi Umar berarti mengingat kematian, melihat batu cincin mengingatkan ia akan batu nisan. Dan mengingat mati merupakan terapi yang sangat jitu untuk menjauhkan diri dari godaan berbuat maksiat.
Bagi seorang pemimpin, yang disibukkan dengan berbagai macam agenda, serta difasilitasi dengan segala bentuk fasilitas, godaan untuk bersenang-senang dengan kemaksiatan memang lebih besar dibanding rakyat biasa. Maka terapi jitu, seperti zikrul maut, yang bisa menjauhkan mereka dari kemaksiatan menjadi sebuah keharusan. Apa yang dilakukan Umar dengan cincinnya bisa menjadi salah satu alternatif dalam menjalani terapi tersebut.
 
Imam Syafi’i juga memiliki cincin. Di cincinnya tertulis “al-‘ilmu nur” (ilmu itu adalah cahaya). Cincin menjadi sarana bagi Imam Syafi’i untuk memupuk kecintaannya terhadap ilmu. Sejarah perjalanan hidup Imam Syafi’i memberikan gambaran kepada kita akan dahsyatnya buah kecintaan beliau kepada ilmu yang senantiasa dipupuk. Di umur 7 tahun beliau hafal al-Qur’an, di usia 10 tahun hafal kitab ­al-Muwaththa’ dan di usia 15 tahun ia mendapatkan ijazah dari gurunya, mufti Kota Mekkah Muslim bin Khalid al-Zanji, untuk mengeluarkan fatwa. Kecintaan ini tidak memudar seiring berjalannya waktu, di usia 50 tahun, saat muridnya sudah menyebar di seantero negeri, ia tinggalkan Kota Bagdad, menuju Mesir, karena di negeri itu ia dengar ada seorang alim tempat menimba ilmu.



Baca Selengkapnya >>

PEREKONOMIAN PADA MASA RASULULLAH DAN AL-KHULAFA AL-RASYIDIN



I.       Pendahuluan
Kegiatan Dakwah Rasulullah dalam mengembangkan Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan Periode Madinah. Dalam periode Mekkah, kegiatan dakwah Rasulullah SAW banyak dihadapkan kepada tekanan kaum kafir quraisy dan praktis selama perode Mekkah Rasulullah SAW tidak menjalankan peran sebagai pemimpin negara. Peran Rasulullah sebagai pemimpin negara dimulai pada periode Madinah. Dalam perode ini, Rasulullah menjalankan fungsinya sebagai seorang negarawan, seperti kegiatan beliau dalam menata kehidupan sosial masyarakat, mengatur tata perekonomian negara dan meningkatkan kemakmuran masyarakat sebagai warga negara.
Kedatangan Rasulullah ke Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib, seolah mempertemukan dua hal yang saling membutuhkan. Rasulullah, selama di Mekkah, seolah tidak menemukan lahan yang subur untuk mengembangkan dakwahnya. Sementara sebelum kedatangan Rasulullah SAW, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah SAW segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qur’ani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Sebagai sebuah negara yang baru lahir, maka persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan yang dihadapi Rasulullah karena Madinah ketika itu belum mempunyai aset negara. Dari sini peran Rasulullah dalam menata perekonomian umat Islam dimulai untuk kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya.
II.    Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar Sistem Keuangan Negara serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW meru­pakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Tujuan dan pencanangan strategis dalam bidang ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi muslim memenuhi kebutuhan hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam kehidupan mereka. Perhatian Islam terhadap permasalahan ekonomi atau penanggulangan masalah kemiskinan tidak bisa diperbandingkan dengan ajaran agama samawi lain atau aturan manapun. Di dalam al-qur'an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang menganjurkan memberi makan fakir miskin (mencukupi kebutuhan mereka, baik pangan, papan maupun sandang), menyatakan bahwa dalam harta si kaya terdapat hak si miskin dan lain sebagainya. Untuk itu, praktek ekonomi atau muamalah yang tidak sesuai dengan prinsip tersebut dieliminasi oleh Islam, seperti mengeliminasi praktek riba yang sudah sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat jahiliyah,[1] mengakui dan menganjurkan praktek kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, seperti syirkah, mudharabah dan lain sebagainya serta mewajibkan zakat untuk menutup jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin.[2]
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur'ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dengan demikian, dalam kegiatan ekonomipun manusia harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan Allah, seperti tidak mempergunakan sumder daya ekonomi untuk hal yang dilarang dan mempunyai perhitungan yang matang dalam mengeksploitasi alam.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai Khalifah-Nya, ma­nusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
Allah Swt. telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur'ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
1.      Allah Swt. adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta. Manusia hanyalah khalifah Allah Swt. di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
2.      Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
3.      Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
4.      Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
5.      Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
6.      Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.[3]
Keuangan dan Pajak
1.            Mata Uang
Bangsa arab di hijaz pada masa awal kedatangan Islam tidak mengenal mata uang sendiri, mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byzantium dan dirham perak Dinasti Sasanid di Irak, dan sebagian mata uang Bangsa Himyar dari Yaman. Penduduk Mekkah tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dengan timbangan. Hal ini disebabkan karena banyaknya penipuan pada mata uang mereka, misalnya nilai yang tertera melebihi nilai yang sebenarnya. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan prnduduk Mekkah ketika melakukan interaksi ekonomi.[4]
2.            Sumber-sumber Pendapatan Negara
a.       Jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Jizyah disebut juga dengan Kharaj al-Ra's (pajak kepala). Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.[5]
b.      Kharaj, yaitu pajak atas tanah. Di zaman Rasulullah Kharaj lebih mirip dengan Muzara`ah, di mana tanah taklukan digarap oleh bangsa yang ditaklukkan dan hasilnya dibagi dengan kaum Muslimin yang ikut dalam perang tersebut. Seperti tanah yang didapatkan dari penaklukan Khaibar. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Rawahah untuk menghitung hasil bumi kaum Khaibar[6]
c.       Khums, yaitu seperlima dari harta rampasan perang.di zaman jahiliyah, harta rampasan perang yang diambil oleh penguasa adalah seperempat, akan tetap hal itu diperbaiki oleh Islam dan dijadikan seperlima. Empat per lima sisanya diserahkan kepada tentara yang ikut perang. Pada umumnya, Rasulullah SAW Membagi khums menjadi 3 bagian pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin serta para musafir. Khums mulai ditetapkan pada tahun kedua hijrah melalui surat al-Anfal ayat [7]
d.      Zakat, Syariat zakat sudah ada sejak periode Mekkah, seperti perintah zakat yang terdapat dalam surat Makkiyah, seperti Rum ayat 38-39, Luqman ayat 4, al-Mu'minun ayat 4, al-Naml ayat 1-3, al-A`raf ayat 256-157, dan Fushshilat ayat 6-7. akan tetapi zakat yang diwajibkan di Mekkah hanyalah zakat mutlak yang tidak memiliki syarat dan batasan tertentu. Pelaksanaan zakat hanya ditentukan oleh keimanan individu serta perasaan kewajiban mereka terhadap sesama.[8] Pada tahun kedua Hijriyah, Allah Swt. mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha' gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan Shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt. mewajibkan zakat mal (harta) pada tahun kesembilan Hijriyah.
Zakat sendiri disyariatkan dalam syariat Islam dengan tujuan pemerataan ekonomi, sehingga jurang si kaya dan si miskin tidak terlalu lebar
Di samping pendapatan di atas, ada juga sumber pendapat Negara yang bersifat sekunder, seperti :
a.       Uang tebusan tawanan perang, khususnya pada perang Badar
b.      Khumus (seperlima) dari harta rikaz
c.       Amwal al-Fadilah, yaitu harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
d.      Wakaf
e.       Nawa'ib, yaitu pendapatan berupa Sedekah dari Muslim dan Non Muslim dalam masa darurat.[9] Dalam beberapa kasus, Rasulullah mengumpulkan sedekah dari para sahabat untuk memenuhi kebutuhan Negara. Seperti mengumpulkan harta untuk biaya perang. Seperti yang terjadi ketika kaum Muslimin menghadapi perang tabuk. Saat itu devisa negara habis dan para sahabat berlomba-lomba untuk menyumbangkan hartanya. Dalam perang tersebut Usman ibn Affan menyumbangkan harta sebanyak 1.000 dinar.[10] Sumbangan dari Non-Muslim merupakan kesapakatan yang dicapai oleh Rasulullah dengan Non-Muslim Madinah, dalam salah satu poin Piagam Madinah disebutkan bahwa Kaum Muslimin dan Yahudi berkewajiban menafkahi diri mereka masing-masing, akan tetapi bila terjadi  perang keduanya bertanggung jawab untuk menanggung biaya perang.[11]
Pemasukan di zaman Rasulullah tersebut dikelola oleh para sahabat yang dianggap mampu untuk itu. Untuk mencatat ghanimah di zaman Rasulullah ditunjuk Mu`aiqib ibn Abi Fatimah. Untuk menarik zakat dari para raja ditunjuk Abdullah ibn al-Arqam. Untuk menarik zakat di daerah ditunjuk orang tertentu yang kebanyakan berasal dari daerah tersebut, seperti Harts ibn Dharar yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat kaumnya.[12] Adapun yang bertugas untuk mencatat pemasukan dari zakat ditunjuk Zubair ibn Awwam dan Juhaim ibn Shalt. Sementara Mughirah ibn Syu`bah dan Hashim ibn Namir diberi tugas untuk mencatat utang piutang dan transaksi mu`amalah.[13] Zakat dan pemasukan lain dikelola secara terpisah karena zakat dan pajak mempunyai sasaran yang berbeda.
Pengeluaran Negara
Tidak banyak literatur yang bisa dijadikan rujukan untuk melacak pengeluaran Negara (expenditure) di zaman Rasulullah. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Di antara pengeluaran di zaman Rasulullah adalah :
a.       Gaji Pegawai, seperti wali, qadi, guru, imam, muadzdzin, dan pejabat pemerintah lainnya. Rasulullah senantiasa memilih pegawai dari sahabat-sahabat yang kaya, kebanyakan dari mereka berasal dari Bani Umayyah, dengan tujuan untuk mengirit pengeluaran di masa itu karena pejabat kaya tidak mengharapkan gaji dari jabatan mereka. Pada saat itu para pegawai digaji 1 dirham setiap hari dan banyak di antara sahabat tersebut yang dengan kerelaan tidak menerima gaji itu.[14]
b.      Pembayaran upah sukarelawan
c.       Biaya pertahanan dan keamana (militer)
d.      Pembayaran utang Negara
e.       Bantuan untuk para Musafir
f.       Penerimaan dari zakat disalurkan sesuai dengan aturan al-Qur'an, yaitu diserahkan kepada asnaf yang telah ditetapkan. Rasu­lullah senantiasa memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan zakat. Dalam kebanyakan kasus, ia menyerahkan pencatatan penerimaan harta zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perhitungan yang ada di simpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Sulaim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini; Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.[15]
Di samping pengeluaran di atas, ada juga pengeluaran negara yang bersifat sekunder, seperti :
a.       Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah (Bea Siswa)
b.      Hiburan untuk para delegasi keamanan
c.       Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta untuk biaya transfortasi mereka
d.      Hadiah untuk pemerintah negara lain
e.       Penebusan kaum muslimin yang menjadi budak
f.       Pembayaran diyat bagi orang yang terbunuh oleh pasukan muslim
g.      Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin
h.      Tunjangan orang miskin
i.        Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
j.        Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sedikit, yaitu 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).[16] 
Baitul Mal
Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, peme­rintahan suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaha­raan negara di dunia.
Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah Al-Qur’an. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. la tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun. [17]
III. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Al-Khuulafa Ar Rasyidun
A.    Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar Al-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar Al-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (Perang Melawan Kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[18]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq, harta Baitul Mal yang berada di bawah pengawasan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah[19] tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.
B.     Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam.[20]
Di samping itu, Umar juga banyak melakukan terobosan di bidang ekonomi. Sehingga pada Masa Umar keuangan dan ekonomi negara dikelola secara teratur dan professional.
1.            Pendirian Lembaga Baitul Mal
Baitul Mal sudah ada sejak masa Nabi. Akan tetap fungsinya hanya sebagai tempat persinggahan harta sementara sebelum dibagikan kepada fakir miskin. Di masa Umar Baitul Mal berfungsi sebagai simpanan Aset Negara. Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Lembaga keuangan di zaman Umar bersifat terpisah dan independent dari kekuasaan eksekutif.[21] Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat. Untuk mengelola administrasi keuangan di Baitul Mal, Umar menunjuk orang-orang Persia yang memang dikenal sebagai orang-orang yang handal dalam masalah administrasi dan pembukuan.[22]
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :
a)      Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk men­distribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
b)      Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
c)      Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d)     Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[23]
2.            Kepemilikan Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja”. Di samping itu pembagian tanah kepada orang yang ikut perang akan melahirkan tuan tanah yang memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Umar memutuskan bahwa tanah tersebut tetap ada dan diambil pajaknya (Kharaj). Sehingga dengan demikian pemerintah mempunyai sumber penghasilan tetap.[24]
Untuk kebijakan pengelolaan hasil Kharaj, diserahkan kepada Pemerintahan Provinsi, maka tidak mengherankan kebijakan tentang pengelolaan keuangan di masa Umar berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Seperti :
a)      Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
b)      Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
c)      Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
d)     Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
e)      Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
f)       Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gan­
dum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
g)      Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
Khalifah Umar juga mempunyai kebijakan untuk mengkhususkan tanah pertanian untuk dimanfaatkan oleh fakir miskin.[25]
3.            Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.
Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.
4.            Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Dengan demikian, di masa Nabi dan Abu Bakar, Pemerintah belum menarik Ushur dari pedagang luar yang masuk negara Islam. Akan tetapi di masa Umar hal ini sudah diterapkan terhadap pedagang kafir yang berdagang atau lewat di daerah Islam.[26] Hal ini dilakukan Umar, karena pedagang Muslim dikenai bea cukai (ushur) apabila masuk daerah kafir. Di samping itu, hal ini juga dengan pertimbangan kemaslahatan kaum muslimin, terutama para pedagangan muslim.
5.            Sedekah dari non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
Nu’man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.
6.            Penggalian Kanal
Kebijakan ekonomi lain yang dirancang oleh Khalifah Umar ibn Khattab adalah menggali kanal untuk mempermudah proses ekspor-impor barang dari Mesir ke Hijaz. Kanal digali dari Sungai Nil menuju Qalzam (laut merah). Kanal yang digali Umar itu dikenal dengan Teluk Amirul Mukminin. Keberadaan kanal ini memberikan konstribusi yang besar dalam perkembangan perekonomian kaum muslimin ketika itu.[27]

7.            Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas, dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.
Pada masa Umar, seiring dengan meningkatnya volume perdagangan. Uang wesel atau cek sudah muali dikenal dalam transaksi perdagangan. Seperti ketika Umar mengimpor sejumlah barang dagangan dari Mesir. Karena jumlahnya banyak dan proses distribusinya terhambat, maka Umar menerbitkan Cek untuk itu.[28]
7.      Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
v  Pendapatan zakat. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan untuk ashanaf yang telah ditentukan al-Qur'an. Jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mal pusat untuk kemudian dibagikan kepada delapan ashnaf. Desentralisasi pengelolaan zakat merupakan salah satu terobosan yang dilakukan Umar dalam bidang ekonomi.
v  Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan
kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan
mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau
bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus,
Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita
penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada
orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah
dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
v  Pendapatan kharaj, fai, jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
v  Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar
para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[29]
8.      Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa. Di samping itu, ahlul bait Rasul juga mendapatkan perhatian dari Umar.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[30]
 Di masa Umar juga telah dilaksanakan pengawasan terhadap keuangan negara. Bahkan Umar telah mempraktekkan pemeriksaan kekayaan pejabat pemerintah. Untuk hal yang satu ini beliau tidak pandang bulu. Sahabat-sahabat utama seperti Abu Hurairah, Amr ibn Ash, Khalid ibn Walid dan lain sebagainya tidak luput dari pemeriksaan Umar. Hal ini mungkin dilakukan Umar karena beliau sendiri sangat wara` daam menggunakan fasilitas Negara.[31] Di samping itu, Umar juga menunjuk Muhammad ibn Maslamah untuk menerima pengaduan dari masyarakat.[32]
Selama masa jabatannya, Umar telah berhasil membangun perekonomian masyarakat Islam, di masanya ada jaminan sosial bagi anak yatim, fakir miskin dan orang-orang jompo. Di samping itu, tunjangan dan subsidi di masa Umar telah membangkitkan perekonomian masyarakat. Diriwayatkan, salah seorang ummahatul mukminin bisa mengeluarkan zakat dari harta tunjangan yang diberikan Umar. Hal ini bisa terjadi karena Umar telah mengembangkan perekonomian dalam bingkai takwa. Mengembangkan perekonomian yang penuh dengan musyawarah dan fleksibilitas tetapi mempunyai acuan yang jelas. Mengembangkan perekonomian yang berbasis sosial akan tetapi mempunyai pengawasan yang ketat dan lain sebagainya.[33]
C.    Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, terlama di antara para khulafa al-Rasyidin, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di wilayah Mediterania.._Laodicea-dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan men-delegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga mengurangi zakat dari dana pensiun.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn ‘Affan yang banyak telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khlifah.[34]
D.    Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[35]
Hal lain yang perlu dicatat selama pemerintahan Ali adalah kebijakan beliau untuk mengeluarkan Uang Cetakan dalam pemerintahan Islam ketika itu. Setelah Persia ditaklukkan, kaum muslimin mulai diperkenalkan kepada teknologi percetakan uang. Pada masa pemerintahan Ali untuk pertama kalinya secara resmi uang dicetak dengan menggunakan nama pemerintah Islam.[36]
Untuk tunjangan dana pensiun, Ali mempunyai kebijakan yang sama dengan Abu Bakar. Beliau tidak membedakan antara sahabat atau kaum muslimin berdasarkan tingkat keimanan dan dahulunya mereka masuk Islam. Menurutnya masalah keimanan hanyalah Allah yang bisa menentukan. Kebijakan beliau ini berbeda dengan kebijakan Umar, yang memberikan tunjangan yang berbeda kepada para sahabat sesuai dengan ontribusinya terhadap perkembangan Islam.



[1] Pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap, hal ini dikarenakan praktek riba sudah sangat mengakar kuat dalam masyarakat jahiliyah sehingga akan menimbulkan resistensi yang kuat dari berbagai pihak kalau diharamkan dalam satu tahap saja. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa'i` al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta : Dinamika Berkah Utama, th), h. 391.

[2] Ahmad Ibrahim Abu Abu Sinn, Manajemen syariah, terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006). h. 88.

[3] Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : RPT Raja Grafindo Persada, 2004). H. 36.

[4] Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007). h. 49.

[5] Ahmad Shurbasyi, Mu`jam Iqtishad al-Islami, (Kairo : Dar el-Jil, th),  h. 95.

[6] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 79.

[7] Ahmad Shurbasyi, op. cit., h. 141.

[8] Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat Juz I, (Beirut : Mu'assasah Risalah, 1973). h. 61.

[9] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 45-48.

[10] Abdul Khaliq Abu Dabiah, Ma`a al-khulafa' al-Rasyidin, h. 76.

[11] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit.,, h. 85.

[12] Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Semarang : Usaha Keluarga, th). h. 318.

[13] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit h. 35.

[14] Ibid, h. 35.

[15] Adiwarman Karim, op. cit h. 48.

[16] Ibid

[17] Ibid, h. 51-52.

[18] Ibid, h. 54-55.

[19] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit, h. 38.

[20] Julukan ini diberikan juga karena Umar dan Paul (Paulus) mempunyai masa lalu yang sama, yaitu sama-sama penentang agama yang kemudian dibelanya.

[21] Ibid, h. 43.

[22] Adiwarman A Karim, op. cit h. 160.

[23] Ibid, h. 62.

[24] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 42.

[25] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 65-68.

[26] Quthb Ismail Muhammad, op. cit., h. 100.

[27] Manajemen Syari`ah. H. 89.

[28] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 161.

[29] Ibid, h. 73-74. Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 108.

[30] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 74-78.

[31] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 158-180. Abu Ubaid Qasim ibn Salam, al-Amwal, (Beirut : Dar al-Huquq, th). h. 342-343.

[32] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit., h. 41.

[33] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 220-240.

[34] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 78-82.

[35] Ibid, h. 82-85.

[36] Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa uang cetakan sudah ada sejak masa pemerintahan Umar dan Usman, akan tetapi tidak ada bukti sejarah yang kuat yang bias mendukung pendapat tersebut. Lihat Adiwarman Karim, op. cit., h. 164.



Baca Selengkapnya >>