Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Selasa, 07 April 2015

Aku Ingin Diutus Sebagai Rahmat (Da'wah Ke Tha'if ~Syawal Tahun 10 Kenabian/Akhir Mei 619 M)


 Sepuluh hari kekasih Allah itu menyusuri Kota Tha'if, ia ketuk pintu rumah dan hati penduduk kota yang berjarak lebih kurang 60 Mil dari Kota Mekkah itu. Ia temui tiga bersaudara pemimpin kota tersebut, Abu Yala'il, Mas'ud dan Hubaib Bin Amr al-Tsaqafy. Tapi yang ia terima tidak seindah yang ia harapkan, yang ia rasakan tak semanis yang ia bayangkan. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Tirai Ka’bah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang Rasul’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah Tuhanmu tak punya orang lain untuk diutus?’, dan yang terakhir berujar, ‘Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan seorang pendusta!’. Ia dihina, diusir bahkan dilempari dan dikejar oleh penduduk kota yang berjuluk Sepotong Syam yang Jatuh di Hijjaz.

 Tiga mil ia berlari, hingga sampai di kebun anggur milik putra-putra Rabi’ah. Tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur saat penduduk Tha'if yang mengejarnya sudah hilang dari pelupuk mata. Dengan senyum yang tertengadah ke langit namun airmata melelehi pipinya yang mulia, ia mengadu kepada Penciptanya.

اللهم أشكو إليك ضعف قوتي، وقلة حيلتي، وهواني على الناس. يا أرحم الراحمين أنت رب المستضعفين وأنت ربي. إلى من تكلني؟ إلى عدو ملكته أمري! أم بعيد يتجهمني؟ إن لم يكن بك غضب عليّ فلا أبالي. ولكن عافيتك أوسع لي. أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت به الظلمات، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة، أن تنزل بي غضبك، أو تحل علي سخطك. لك العتبى حتى ترضى، ولا حول ولا قوة إلّا بك

Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah yang sedang ada di kebunnya merasa iba melihat keadaan cucu ‘Abdul Muthalib itu. “Hai Addas”, panggil salah satu di antara keduanya kepada seorang pembantu, “Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”
Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah seri itu menyebut nama Allah.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ucap Rasulullah sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas menggeleng dan tersenyum.
“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini”, kata Addas.
“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri seorang shalih bernama Yunus ibn Matta?”, tanya Sang Rasul dengan penuh minat begitu Adas menyebut nama negeri asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar membuatnya tertarik.
“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?”, tanya Addas.
Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan akupun seorang Nabi.”
Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah. Dikecupnya dahi beliau dengan penuh cinta, diciumnya tangan beliau dengan penuh hormat, dan dikecupnya kaki beliau dengan penuh khidmat. Melihat kejadian itu Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Allah”, kata Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”

Setelah lelahnya mulai mereda, dengan kegundahan dalam hati ia lanjutkan perjalanan, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’alib (Qarn al-Manazil) ia angkat kepala, Ia lihat kekasih sekaligus gurunya, Jibril, bersama Malaikat penjaga Gunung Abu Qubais dan Qu'aiqi'an, dua gunung yang berjuluk Akhsyaban, Gunung kokoh yang menjulang tinggi. ‘Sesungguhnya’, kata Jibril dengan suara yang memenuhi ufuk, ‘Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu.”

Lalu malaikat penjaga gunung menimpali, ‘Ya Rasulallah, ya Nabiyyallah, ya Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu.’
“Tidak”, kata laki-laki mulia berhati lembut itu, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”

 Raganya mengucurkan darah hingga membasahi sandalnya, jiwanya lelah, batinnya terluka, namun harapannya tak pernah sirnah dan yang tumpah tetaplah cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar