Selasa, 24 Februari 2015
ENERGI CINTA SANG PEMIMPIN
Diturunkannya poster Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh
beberapa oknum mahasiswa kembali memunculkan sepenggal kisah pelecehan pemimpin
oleh rakyat yang dipimpinnya. Kejadian ini bukanlah sesuatu yang aneh di
Indonesia, kejadian serupa, seperti demo yang diikuti dengan berbagai bentuk
pelecehan terhadap pemimpin sudah sangat sering terjadi sebelumnya. Kejadian
ini juga diprediksi semakin sering terjadi seiring kebijakan pemerintah yang
menaikkan harga BBM.
Demonstrasi dan segala bentuk pelecehan yang semakin marak dan
semakin “lumrah” terjadi di Indonesia, di samping menunjukkan sudah
menghilangnya rasa hormat rakyat terhadap para pemimpin, juga menunjukkan bahwa
cinta dan kemesraan antara rakyat dan pemimpin semakin menipis di negeri ini. Reformasi
dan Demokrasi yang diperjuangkan dengan harga yang sangat mahal ternyata tidak
berhasil melahirkan kemesraan antara pemimpinn dengan rakyat yang memilihnya
secara langsung.
Dalam kitab Akhlaq – i Nasiri, yang
ditulis sebagai butir nasehat untuk dipersembahkan kepada pangeran Qushistan
Nasir, ibnu Ali Mansur, Nasiruddin al-Thusi (1201-1273 M) menekankan tentang
pentingnya Mahabbah (cinta) sebagai dasar asosiasi manusia. Cinta,
menurut al-Thusi adalah kekuatan yang mendorong terciptanya peradaban (tamaddun)
dan sintesa sosial. Karena itu, cinta adalah "penghubung" (connector)
antar masyarakat yang menyatukan rakyat dan pemimpinnya. Keberhasilan
Rasulullah saw sebagai seorang pemimpin dan kepala negara juga sangat
ditentukan oleh kecintaannya yang amat mendalam kepada orang-orang yang
dipimpinnya. Rasa cinta ini dilukiskan oleh Allah di dalam al-Qur’an surat at-Taubah
ayat 128 : “Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, sangat berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mu’min.” Rasa cinta juga yang membuat beliau menjadi orang
yang pertama kali merasakan lapar di saat umatnya ditimpa kelaparan, dan
terakhir kali merasakan kenyang di saat umatnya mendapat nikmat makanan.
Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari
Dinasti Bani Umayyah, Sebenarnya ia adalah seorang ulama, bahkan seorang
mujtahid. Tapi ia dibesarkan di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan
gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi
trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda
karena ia masih sedang menyisir rambutnya. Tapi, begitu ia menjadi khalifah,
rasa takut akan neraka dan rasa cintanya yang amat dalam terhadap rakyatnya
membuat kesadaran spiritualnya mendadak tumbuh pada detik inagurasinya. Sejak
itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Ia hidup dalam
kesederhanaan dan mencurahkan semua waktunya untuk berbuat bagi orang-orang
yang dipimpinnya. Walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5 bulan, tapi
ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan
zaman Khulafa Rasyidin. Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima. Rasa cintalah yang membuat ia bahagia menjalani hidup dalam
“kesederhanaan”. Rasa cinta juga yang membuat namanya tetap abadi di hati
masyarakat walau ia hanya memimpin dalam waktu yang sangat singkat.
Korupsi Membunuh Cinta
Korupsi merupakan salah satu bentuk penghianatan (lihat QS. Ali
Imran : 161) dan penghianatan akan selalu melahirkan rasa dendam dan kebencian.
Sebagai bangsa melayu, Indonesia sesungguhnya memiliki sifat kebersamaan. Karakter
kebersamaan begitu melekat dalam diri bangsa Indonesia dengan budayanya yang
suka bergotong royong. Akan tetapi korupsi telah merenggut semua kemesraan itu,
tidak ada lagi rakyat yang begitu bangga menyebut nama pemimpinnya. Tidak ada
lagi pemimpin negarawan yang mengesampingkan semua ego dan imejnya untuk
kepentingan dan rasa cintanya terhadap rakyat yang dipimpinnya. Tidak ada lagi
Sudirman yang rasa cintanya terhadap rakyat memberinya energi untuk tetap
berjuang walau dalam keadaan sakit, bergerilya bersama prajurit yang juga
sangat mencintai dan menghormatinya. Pemimpin seperti ini, yang mau merakyat,
sudah menjadi makhluk yang langka, sehingga kehadirannya dianggap sebagai
penomena yang disambut dengan gegap gempita.
Korupsi, yang dulu hanya dilakukan oleh segelintir elit bangsa ini,
sekarang sudah bersifat massiv dan terstruktur. Pelakunya tidak hanya berasal
dari pucuk pimpinan, akan tetapi sudah menjalar sampai ke akar rumput. Akibatnya
juga semakin terasa. Rasa nasionalisme dan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia
mulai memudar, wajah melayu yang begitu elok dan rupawan, penuh keramahan dan
sopan santun perlahan berupah menjadi bangsa barbar penuh anarkis.
Akan tetapi hal ini hendaknya tidak membuat kita putus asa dan
kehilangan harapan terhadap perbaikan kondisi bangsa. Belajar dari sejarah,
ombak besar dan gelombang dahsyat selalu melahirkan seorang nakhodah handal. Di
tengah kekuasaan Bani Umayyah yang menebarkan perpecahan dan kebencian di
antara faksi Umat Islam, lahir Umar bin Abdul Aziz, yang dengan energi cinta
yang dimilikinya, telah berhasil menanamkan rasa persaudaraan dan sikap saling
menghormati di kalangan umat Islam. Mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan
pemarataan di seantero negeri yang dipimpinnya. Masa kepemimpinannya
berlangsung singkat, akan tetapi berhasil memberikan pengaruh yang luar biasa.
Di tengah
carut marut kondisi bangsa yang semakin parah dari hari ke hari, kita masih
berharap akan lahirnya seorang pemimpin yang memiliki kecintaan kepada bangsa
dan rakyat yang dipimpinnya, sehingga bisa memberikan energi dan kekuatan untuk
mengembalikan negeri ini menjadi bangsa yang berbudaya dan patut dibanggakan.
( Riau Pos : 18 April 2012)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar