Selasa, 24 Februari 2015
IBARAH DARI BANGSA TERDAHULU
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal."
(Q.S. Yusuf : 111)
Jangan Sekali-kali merupakan sejarah, demikian
pesan Founding Father bangsa ini, Ir. Soekarno. Mengambil pengalaman dari perjalanan
bangsa, serta belajar dari perjalanan bangsa-bangsa yang pernah jaya dan juga
musnah, merupakan salah satu cara mengisi dan menghayati kebangkitan nasional.
Terlepas dari kontroversi momentun apa seharusnya yang dijadikan sebagai
pijakan kebangkitan nasional, apakah kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada
tanggal 20 Mei 1908, atau kelahiran Sjarikat Islam pada tanggal 16 Oktober
1905, peringatan hari kebangkitan nasional harus tetap menjadi refleksi dalam
melihat sudah sejauh mana dan ke arah mana seharusnya bangsa ini melangkah.
Hampir
67 tahun usia Bangsa ini, usia yang sesungguhnya tidak muda lagi. Akan tetapi
lika liku perjalanan bangsa seolah tidak memberikan pelajaran apa-apa. Kita
seolah selalu terperosok ke dalam lobang yang sama dan terjebak dalam persoalan
yang sama. Lepas dari penjajahan bangsa asing setelah dicengkram 3,5 abad
lamanya, kita masuk pada fase yang lebih menyedihkan, yaitu penjajahan oleh
bangsa sendiri. Setelah menyadari kesalahan dalam masa demokrasi terpimpin di
bawah komando Soekarno, dengan gegap gempita rakyat menyambut fase baru yang
disebut dengan orde baru, tapi nasib orde baru tidak jauh beda dengan orde
lama, disanjung di awal, tapi akhirnya jatuh dalam keadaan dihujat. Tak jauh
beda dengan orde sebelumnya, reformasi yang diperjuangkan dengan harga yang
tidak sedikit mulai menampakkan kelemahannya, demokrasi yang didewa-dewakan
ternyata juga belum berhasil mengatasi persoalan bangsa. Korupsi semakin meraja
lela, jati diri bangsa semakin dilupakan.
Kegagalan demi kegagalan memberikan satu
pelajaran yang sangat berarti, yaitu kebangkitan suatu bangsa sesungguhnya bermula
dari perbaikan karakter bangsa tersebut (QS. Ar-Ra’du : 11). Bangsa berkarakter
unggul selalu maju dalam sejarah peradaban dunia, sebaliknya bangsa dengan ilmu
pengetahuan maju sekalipun bisa hancur kalau karakter bangsanya sudah hancur. Dalam
Surat al-Balad (bangsa-bangsa) Allah menyebutkan tiga bangsa yang maju, yaitu Kaum
‘Ad dengan bangunan pencakar langit, kaum tsamud dengan seni pahat yang
mengagumkan sehingga mereka bisa membuat patung dari gunung, kaum Fir’aun
dengan bangunan Piramid yang sangat indah dan megah. Bangsa-bangsa tersebut
jaya tapi akhirnya hancur karena tidak berdiri di atas pondasi karakter yang
kokoh.
Quraisy Shihab, ahli tafsir dan ulumul qur’an
Indonesia, menjelaskan bahwa ada tujuh karakter unggul dari bangsa-bangsa yang
maju yang pernah disinggung di dalam al-Qur’an, yaitu :
Pertama, Kemantapan Persatuan. Belanda adalah bangsa yang kecil
kalau diukur dengan luas wilayah Indonesia, akan tetapi berhasil menancapkan
kukunya di Indonesia dalam jangka waktu yang sangat lama karena tidak adanya
persatuan ketika itu. Dalam Surat al-Anfal ayat 46 Allah berfirman : “Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”
Kedua, adanya nilai luhur yang disepakati. Indonesia adalah
bangsa yang beragama dan memiliki budaya yang bernilai luhur. Dari sekian
banyak tata nilai yang diyakini, maka Pancasila boleh dikatakan nilai luhur
yang disepakati oleh segenap bangsa Indonesia. Akan tetapi nilai-nilai itu seakan
mulai luntur dan ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu, Kebangkitan Nasional juga harus dimaknai sebagai momen untuk kembali
kepada jati diri dan nilai luhur bangsa sebagai mana dulu pernah digaungkan Soekarno
dalam Tri Saktinya.
Ketiga, Kerja keras, disiplin dan penghargaan terhadap waktu.
Kerja dalam al-Qur’an diungkapkan dengan beberapa redaksi, seperti kata “Amalun”
yang terulang sebanyak 260 kali, “Fi’lun” yang terulang sebanyak 99
kali, “Shun’un” yang terulang sebanyak 17 kali, “Taqdimun” yang
terulang sebanyak 16 kali dan kata “Sa’yun”. Sementara itu di beberapa
tempat Allah bersumpah dengan waktu. Seperti antara lain bisa kita lihat dalam
Surat Al-Ashr. Dalam surat ini Allah bersumpah “Demi waktu (al-‘Ashr), sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian”. Kata Al-'ashr secara harfiah sebenarnya berarti
"memeras sesuatu sehingga
ditemukan hal yang
paling tersembunyi padanya". Dengan demikian dalam surat ini
tersirat makna bahwa manusia akan merugi kalau ia tidak memanfaatkan waktu yang
ia miliki untuk memeras segala potensi dan daya upaya yang ia miliki.
Keempat, Kepedulian yang tinggi. Dalam surat Ali Imran ayat 110
Allah menegaskan bahwa salah satu sebab keunggulan Umat Nabi Muhammad SAW
adalah kepedulian mereka untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam salah
satu hadisnya Rasulullah juga pernah mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki
kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi kaum muslimin, berarti bukan
termasuk golongan mereka. Kepedulian sesungguhnya bukan hal baru bagi Bangsa
Indonesia, mengingat budaya gotong royong dan kebersamaan sudah tertanam sejak
lama.
Kelima, Moderasi dan Keterbukaan. Umat Islam dinamai Al-Qur’an
dengan Ummatan Wasathan (Al-Baqarah : 143). Kata wasathan menurut
sebagian pakar
bermakna bahwa
sesuatu yang
baik itu berada
pada posisi antara dua kutub
ekstrem
atau disebut juga dengan sikap moderat. Moderasi harus diikuti dengan
keterbukaan, karena salah satu ciri Ulul Albab (orang berakal) adalah mau
mendengar dan memilih yang terbaik dari semua yang ia dengar (QS. Al-Zumar :
18).
Keenam, Kesediaan Berkorban. Pada saat inagurasinya sebagai
Presiden AS, John F Kennedy membakar nasionalisme rakyat AS dengan pidatonya
yang terkenal : “jangan tanyakan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tapi
tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara”. Kesediaan berkorban untuk
bangsa juga merupakan implementasi dari hadis nabi “Cinta tanah air adalah
bagian dari iman”.
Ketujuh, Ketegaran dan Keteguhan Terhadap Rayuan dan Tantangan. Dalam Surat An-Nahl :
92 Allah mengcam suatu kaum yang sudah berkomitmen
akan tetapi melanggar komitmennya karena adanya tantangan dari pihak lain.
Berkomitmen dan menepati
janji (komitmen) merupakan
sendi utama tegaknya masyarakat, sehingga menjadi karakter terpuji bagi
seseorang dan suatu komunitas. Sifat dan karakter itulah yang memelihara
kepercayaan berinteraksi anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang,
bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
(Riau Pos, 01 Juni 2012)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar