Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Sabtu, 28 Februari 2015

KAUM YANG MEGHANCURKAN BANGSA SENDIRI

Ibnu Ajibah, salah seorang sufi dari Tarikat Syadziliyah, dalam kitab tafsirnya Al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd mengatakan “jika Allah menghendaki kebaikan pada suatu kaum, akan Dia jadikan kebaikan pada orang-orang besarnya. Maka akan lahirlah para pemimpin yang memerintah dengan keadilan dan penuh kelembutan, lahir pula ulama-ulama zuhud yang selalu menjaga kehormatan, lahir pula para hartawan yang dermawan, philantropist yang mengorbankan harta untuk masyarakat, serta pada kaum tersebut, rakyat jelatanya penuh sifat qanaah dan tak sudi meminta-minta. Akan tetapi sebaliknya, jika Allah menghendaki keburukan pada kaum itu, niscaya Dia jadikan keburukan pada orang-orang besarnya. Maka jadilah para pemimpin mereka jahat, memerintah dengan syahwat, para 'ulamanya pun rakus mengumpulkan dunia, menjual agama demi rupiah, para hartawannya kikir dan tidak memiliki kepedulian, serta rakyat jelata tamak dan suka meminta-minta”.
Dari ungkapan Ibnu Ajibah di atas, terdapat empat golongan manusia yang berpotensi menentukan baik buruknya sebuah bangsa. Kalau empat golongan itu baik, maka sebuah bangsa akan menjadi baik, akan tetapi kalau golongan itu buruk, maka buruklah sebuah bangsa. Berikut adalah golongan-golongan yang menghancurkan bangsanya sendiri.
1. Pemimpin yang Jahat
Pemimpin seringkali dipersalahkan atas kehancuran dan keterpurukan sebuah bangsa, anggapan ini wajar muncul karena memang pemimpin adalah nakhoda yang menentukan kemana bahtera besar sebuah negeri mau dibawa. Akan tetapi ungkapan Ibnu Ajibah di atas mengingatkan kita, bahwa kehancuran sebuah bangsa sesungguhnya tidak murni akibat ulah tangan penguasa. Di samping oleh penguasa yang jahat, hancurnya sebuah bangsa juga diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu :
2. Ulama yang Gila Dunia
Ulama adalah pewaris para nabi dan pemimpin dalam bidang agama. Karena ajaran Islam mengandung doktrin yang berisi ritual ibadah dan juga mengatur tata aturan bermasyarakat, maka sejatinya tugas seorang ulama bukan hanya menjelaskan tata cara beribadah yang benar, akan tetapi juga harus memberikan pencerahan dan ikut terlibat di dalam perubahan dan perbaikan sosial. Menjalankan peran ini kadang berbuah pahit karena tidak jarang ulama harus berhadapan dengan kekuatan penguasa yang zalim. Akan tetapi sejarah juga sering mencatat, bahwa ulama merupakan Sharing Partner bagi panguasa yang adil, sebagai contoh wali songo yang menjadi tempat meminta petuah di lingkungan istana kesultanan Demak. Abu Yusuf yang menjadi tempat bertanya Harun al-Rasyid, Imam Malik yang menjadi tempat bertukar pikiran bagi Abu Ja’far al-Manshur.
Di lain sisi, kharisma dan wibawa seorang ulama atau pemuka agama bisa menjadi pisau bermata dua dan berpotensi menimbulkan “perselingkuhan” antara ulama dan penguasa. Kasus perselingkuhan ulama penguasa bukanlah fenomena baru, jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw, sejarah perselingkuhann ulama penguasa pernah dilakukan oleh seorang ulama Bani Israil yang bernama Bal’am bin Bau’rah, pada awalnya Bal’am adalah ulama lurus yang mendedikasikan dirinya untuk membimbing umat menemukan kebenaran, akan tetapi rayuan penguasa dan kilatan kemewahan dunia membuat ia silau sehingga akal sehatnya tidak berfungsi, keluasan ilmu dan dalil-dalil agama ia pergunakan untuk membuktikan bahwa raja zalim yang ia bela adalah benar.
3. Hartawan yang bakhil
Kejayaan sebuah bangsa juga disangga oleh kedermawanan para hartawan. Jayanya negara Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah dan para penerusnya, juga merupakan buah dari kepedulian saudagar saleh semisal Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Di Amerika, negara yang selalu dicap sebagai negara kapitalis dengan budaya hedonis, ternyata juga melahirkan philantropist semacam Bill Gates, Warren Buffet dan Donald Trump. Negara-negara yang pernah memimpin peradaban, di samping melahirkan pemimpin dan ilmuwan hebat, juga melahirkan pengusaha sukses yang berhati mulia.
Sebaliknya, Kebakhilan orang kaya tidak jarang melahirkan revolusi yang meminta ongkos yang sangat mahal, lihatlah misalnya revolusi industri di Inggris dan Revolusi Bolsevik di Rusia, yang meletus akibat tidak mesranya dan jauhnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
4. Jelata bermental pengemis
Saat terjadi kekisruhan perang saudara antara umat Islam, seorang laki-laki berkata kepada khalifah yang memimpin pada saat itu, Ali bin Abi Thalib, “Dulu di zaman Abu Bakar dan Umar negara selalu aman, sementara di bawah kepemimpinanmu banyak kekacauan yang terjadi”. Mendengar itu Ali bin Abi Thalib lalu menjawab “Dulu Abu Bakar dan Umar memimpin orang-orang sepertiku, sementara aku harus memimpin orang-orang sepertimu”.
Dalam alam demokrasi, pemimpin dilahirkan oleh Rakyat. Rakyatlah yang memilih siapa yang akan menjadi nakhoda dari bahtera yang mereka tumpangi, maka karakter dan gaya kepemimpinan seorang pemimpin sesungguhnya juga menggambarkan karakter orang-orang yang dipimpinnya. Sebagaimana sikap anak mencerminkan karakter orang tua yang melahirkan mereka, maka begitu juga pemimpin yang lahir dari rahim rakyat yang dipimpinnya.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Negara ini masih bergelut dengan persoalan ekonomi, kemiskinan dan kelaparan masih menjadi pemandangan di sebagian besar tempat di Indonesia, tapi itu hendaknya tidak menjadi pembenaran bagi rakyat jelata untuk menjual hati nurani dan prinsip demi secuil kesenangan saat pesta demokrasi (pemilu) dilaksanakan. Karakter tangguh bangsa ini sesungguhnya di tempa dan dibentuk oleh kesulitan, karena sesungguhnya penderitaan dan kesengsaraanlah yang melahirkan benih-benih keperkasaan. Pun demikian adanya, tidak ada yang menyangkal, bahwa saat ini Indonesia juga mengalami krisis figur dan keteladanan, akan tetapi hendaknya itu juga tidak menjadi justifikasi bagi rakyat kecil untuk menjadi masyarakat yang bermental oportunis.
Semua kita adalah penumpang bahtera besar Indonesia, maka setiap kita bertanggung jawab untuk menjaga agar bahtera ini tidak oleng. Jangan hanya berikan tanggung jawab itu kepada segelintir orang. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar