Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Selasa, 24 Februari 2015

OPTIMALISASI WAKAF TUNAI DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM YANG BERKUALITAS

Wakaf Tunai (Cash Waqf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum yang berwakaf (wakif) dalam bentuk uang tunai atau surat-surat berharga dan diberikan kepada lembaga pengelola wakaf (Nadzir) untuk kemudian dikembangkan dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat sementara pokok wakafnya tidak boleh habis atau berkurang sampai kapanpun. Dalam fatwa MUI wakaf tunai didefenisikan menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan atau mewariskan), untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah. Menyalurkan uang dalam bentuk uang dipandang lebih luwes dan fleksibel, harta wakaf (mauquf) dalam bentuk uang bisa menjadi dana abadi yang diinvestasikan dan hasilnya bisa dipergunakan untuk berbagai tujuan kemaslahatan umat.
Secara tradisional, di Indonesia wakaf hanya dikenal dalam bentuk benda yang tidak bergerak, seperti tanah dan dipergunakan untuk pembangunan masjid, mushalla, sekolah/pesantren dan area pemakaman. Sementara wakaf dalam bentuk benda bergerak belum tersosialisasi dengan baik. Padahal potensi wakaf tunai atau wakaf benda tidak bergerak sangat besar dan dapat membuka peluang yang lebih besar untuk bersadaqah jariah serta mendapatkan pahala yang tidak pernah terputus, setiap orang dapat mengamalkannya tanpa menunggu kaya terlebih dahulu sebab wakaf tunai dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan kemampuan si Wakif.
Kurang populernya bentuk wakaf tunai di tengah masyarakat salah satunya disebabkan oleh perbedaan pendapat di kalangan para ahli fikih tentang kebolehan wakaf tunai. Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia mengatakan wakaf yang dibayar dalam bentuk uang tidak dibenarkan. Begitu juga dengan pendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanafi. Sementara ahli fikih yang lain mengemukakan pendapat yang berbeda, Mazhab Maliki berpendapat wakaf dengan uang termasuk wakaf yang diperbolehkan. Satu pendapat dalam mazhab Syafi’i mengatakan bolehnya wakaf dalam bentuk dinar dan dirham (al-Mawardi : al-Hawi al-Kabir IX, h. 379). Demikian juga Ulama Mutaqaddimin dalam Mazhab Hanafi (Wahbah Zuhaili : al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh VIII, h. 163). Kalau ditarik lebih ke belakang, Abu Syihab al-Zuhri (w. 124 H) pernah berfatwa untuk menyalurkan wakaf dalam bentuk produktif untuk kemudian dijadikan modal usaha dan keuntungannya dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan bahwa Umar pernah berkata kepada Rasulullah “Aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang aku tidak hanya angin mendapatkan hartanya, maka apa yang harus aku lakukan?” Rasulullah menjawab “Jika engkau mau, pertahankan pokok tanah tersebut dan bersedekahlah dari hasilnya”.
Di Indonesia, hukum wakaf tunai dalam sudut pandang fiqih telah mendapatkan kejelasan dengan dikeluarkannya fatwa MUI tahun 2002 tentang Wakaf Uang. Dalam fatwa tersebut secara tegas dikatakan mengeluarkan wakaf dalam bentuk uang merupakan bentuk wakaf yang diperbolehkan asalkan pokoknya dipertahankan. Sementara dalam tatanan hukum nasional, persoalan wakaf tunai telah mendapatkan kejelasan dengan diundangkannya UU No. 41 tahun 2004. Akan tetapi, jenis wakaf ini, khususnya di Propinsi Riau, belum dipandang sebagai salah satu instrumen potensial dalam menggerakkan kegiatan yang bermuatan kemaslahatan dan keagamaan, seperti untuk mengelola lembaga pendidikan agama. Pemanfaatan harta wakaf tunai di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Di beberapa negara persoalan wakaf dan zakat ditangani oleh kementerian khusus, seperti di beberapa negara Timur Tengah. Bahkan menurut Islamic Relief, di Inggris yang notabene bukan negara dengan penduduk mayoritas muslim, setiap tahun dana wakaf yang berhasil dimobilisasi tidak kurang dari 30 juta poundsterling. Dana ini dikelola secara profesional dan amanah, diinvestasikan dan hasilnya disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di berbagai negara.
Ada beberapa problema yang dihadapi, khususnya di Propinsi Riau, dalam pengembangan wakaf produktif. Problem tersebut antara lain adalah :
1. Belum terbentuknya Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di Tingkat Propinsi Riau dan Kabupaten-Kabupaten yang ada di Riau.
2. Kuatnya paham lama umat Islam, seperti wakaf tidak boleh diubah atau diganggu gugat karena wakaf adalah murni milik Allah swt.
3. Kurangnya sosialisasi tentang paradigma pengembangan wakaf produktif. Baik oleh ulama/muballigh, maupun oleh Stake Holders wakaf atau aparatur pemerintahan (Kementerian Agama).
4. Nazhir belum profesional untuk mengelola harta wakaf secara produktif.
Pendidikan Keagamaan dan Optimalisasi Wakaf Tunai Sebagai Sumber Pendanaan
Sebagian besar pendidikan keagamaan swasta, seperti Pondok Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan non formal, masih banyak yang berkutat dengan persoalan pendanaan, seperti biaya operasional dan insentif guru. Kelangsungan proses belajar mengajar dan penunjang kesejahteraan guru dalam lembaga pendidikan ini umumnya sangat bergantung kepada SPP santri/murid, sehingga lembaga pendidikan keagamaan di Propinsi Riau terkesan memiliki dua wajah, di satu sisi pendidikan keagamaan terkesan murah tapi tidak berkualitas, sementara di sisi lain ada lembaga pendidikan keagamaan yang bisa menjamin kualitas pendidikan, akan tetapi dengan biaya yang sangat mahal.
Pada beberapa lembaga pendidikan keagamaan yang sudah mapan dan terkenal, seperti Pondok Pesantren Modern Gontor atau Universitas al-Azhar di Mesir, lembaga wakaf menempati peran yang sangat vital. Lembaga-lembaga pendidikan besar ini telah bisa membuka cabang di beberapa tempat bahkan memberikan bea siswa (biaya sekolah gratis) kepada para santri dan mahasiswanya berkat besarnya dana wakaf yang bisa mereka kumpulkan. Langkah yang diambil oleh dua lembaga pendidikan ini dalam mengelola sumber wakaf tunai tentunya layak dipertimbangkan untuk mengembangkan lembaga pendidikan keagamaan di Propinsi Riau.
Untuk menggalakkan langkah tersebut maka semua pihak diharapkan mengambil perannya masing-masing. Pihak pemerintah propinsi dan kabupaten diharapkan segera membentuk Perwakilan BWI di tingkat propinsi dan kabupaten yang akan mengeluarkan Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) sehingga pengelolaan wakaf secara administrasi bisa dipertanggungjawabkan. Peran pemerintah dan lembaga dakwah juga diharapkan untuk memberikan pelatihan kepada para da’i dan pengelola wakaf untuk melahirkan nazhir-nazhir yang profesional. Melalui da’i dan muballigh inilah nanti diharapkan tercipta paradigma baru tentang wakaf produktif di tengah masyarakat, sehingga masyarakat bisa memahami bahwa Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf. Terakhir, bagi lembaga pendidikan keagamaan, hendaknya ini ditangkap sebagai peluang dengan membentuk Badan Wakaf yang akan menjaring harta wakaf dari para dermawan dan donator.
(Riau Pos, 24-02-2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar