Selamat Datang Di Catatan Syamsuatir.Blogspot.com

Selasa, 24 Februari 2015

KEPALA KUA "MUFTI" KECAMATAN

Tafaqqahu Qabla an Tasudu, Belajarlah sebelum kamu jadi pemimpin. Demikian pesan seorang pemimpin besar Islam, Umar bin Khattab, pada suatu ketika. Seorang pemimpin idealnya adalah seorang pembelajar, belajar tentang manajemen kepemimpinan, belajar tentang psikologi orang-orang yang dipimpin, dan tentunya belajar tentang hal-hal yang berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsi jabatan. Belajar agama merupakan sebuah kemestian bagi seorang pemimpin agama atau pejabat keagamaan. Dan proses pembelajaran tersebut tidak boleh berhenti pada saat seseorang dilantik menjadi seorang pemimpin, sebab sesungguhnya kepemimpinan itu sendiri merupakan bagian dari proses pembelajaran. Proses pembelajaran harus berlangsung seumur hidup (long Life Education), dalam bahasa Baginda Rasul dikatakan bahwa proses belajar baru boleh berhenti saat jasad dimasukkan ke dalam liang lahat (Uthlub al-`Ilma min al-Mahdi ila al-Lahd).
Kepala Kantor Urusan Agama (Ka.KUA) merupakan pejabat yang mengemban amanah untuk mengurus masalah keagamaan di tingkat kecamatan. Sebagai unit terdepan, Kantor Urusan Agama merupakan ujung tombak Kementerian Agama, tugasnya cukup berat dalam melayani masyarakat, perannya sangat strategis karena pelayanan yang diberikan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan demikian, wajah Kantor Urusan Agama di kecamatan sangat menentukan imej kementerian agama secara keseluruhan dalam pandangan  masyarakat umum.
Kurang optimalnya fungsi Majlis Ulama Indonesia (MUI) di tingkat kecamatan, serta keengganan (kesulitan) masyarakat desa untuk berkonsultasi langsung dengan Pengadilan Agama dalam memecahkan persoalan yang berkaitan dengan persoalan hukum keluarga, membuat di beberapa tempat masyarakat cenderung memposisikan Kepala KUA sebagai “Mufti” di tingkat kecamatan, mereka sering dimintai fatwa dan pendapat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan terutama dalam masalah al-Ahwal al-Syakhshiyah, seperti persoalan talak dan rujuk, pembagian harta warisan dan lain sebagainya. Walaupun sejatinya ini bukanlah tugas pokok dan fungsi seorang Kepala KUA, akan tetapi kebutuhan masyarakat mengharuskan Kepala KUA untuk bisa mengerti dan memahami persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapkan kepada mereka, dan sering kali jawaban atas persoalan yang diajukan itu dituntut secara spontan karena persoalan tersebut mengemuka seiring dengan insiden yang terjadi di masyarakat.
Al-Ahwal al-Syakhshiyah merupakan bagian dari Fiqih Mu’amalah yang senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pengkajian dalam ranah mu’amalah harus dilaksanakan secara kontinyu karena permasalahan baru selalu muncul dari hari ke hari. Banyak hal yang dulu belum pernah disinggung, sekarang justru terjadi di tengah masyarakat. Sering kali persoalan yang sama menghendaki jawaban yang berbeda karena dalam khazanah fiqih mu’amalah memungkinkan terjadinya perubahan hukum disebabkan perbedaan tempat dan waktu suatu peristiwa (Taghyir al-Hukmi bi Taghyir al-Amkinah wa al-Azminah).
Untuk menjawab tantangan di atas, maka sebuah kemestian bagi Kepala KUA dan Stake Holders Kementerian Agama untuk mencari terobosan dan strategi peningkatan kualitas Kepala KUA, khususnya yang berhubungan dengan penguasaan hukum Islam. Beberapa langkah telah dilakukan, seperti seleksi Kepala KUA teladan. Dalam seleksi ini penguasaan atau pemahaman terhadap kitab kuning (turats) yang merupakan sumber keilmuan hukum Islam dijadikan sebagai salah satu aspek penilaian. Hal ini diharapkan bisa merangsang ghirah Kepala KUA untuk meningkatkan kemampuannya dan mengkaji sumber hukum Islam lebih giat lagi. Kegiatan seperti ini dan reward bagi KUA yang memiliki kemampuan intelektual di bidang hukum Islam harus terus ditingkatkan di masa yang akan datang.
Akan tetapi program peningkatan kualitas Kepala KUA tidak boleh terhenti sampai di situ, lebih dari itu dibutuhkan pembinaan dan kegiatan kajian ilmiah yang lebih intensif dan kontinyu. Untuk melaksanakan hal ini, maka diperlukan sedikit pengorbanan dari pihak Kantor Kementerian Agama dan Kepala KUA sendiri. Pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan sedikit waktu dan dana untuk membentuk kelompok kajian yang anggotanya terdiri dari para Kepala KUA dan para penghulu dan merancang kegiatan kajian secara berkala. Dalam kajian ini diharapkan setiap Kepala KUA mengemukakan persoalan-persoalan yang dihadapi di daerah yang belum bisa dicarikan jawabannya menurut kaca mata Hukum Islam. Jawaban yang didapatkan melalui forum kajian inilah yang nantinya akan dibawa pulang oleh Kepala KUA dan menjadi bekal mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat kepada mereka. Kalau hal ini bisa terwujud, maka kesan bahwa Kepala KUA hanya bisa membaca doa dan menikahkan orang akan bisa dihilangkan di tengah masyarakat.
(riau.kemenag.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar