Selasa, 24 Februari 2015
KEPALA KUA "MUFTI" KECAMATAN
Tafaqqahu
Qabla an Tasudu, Belajarlah sebelum kamu jadi pemimpin. Demikian pesan
seorang pemimpin besar Islam, Umar bin Khattab, pada suatu ketika. Seorang
pemimpin idealnya adalah seorang pembelajar, belajar tentang manajemen
kepemimpinan, belajar tentang psikologi orang-orang yang dipimpin, dan tentunya
belajar tentang hal-hal yang berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsi
jabatan. Belajar agama merupakan sebuah kemestian bagi seorang pemimpin agama
atau pejabat keagamaan. Dan proses pembelajaran tersebut tidak boleh berhenti
pada saat seseorang dilantik menjadi seorang pemimpin, sebab sesungguhnya
kepemimpinan itu sendiri merupakan bagian dari proses pembelajaran. Proses
pembelajaran harus berlangsung seumur hidup (long Life Education), dalam
bahasa Baginda Rasul dikatakan bahwa proses belajar baru boleh berhenti saat
jasad dimasukkan ke dalam liang lahat (Uthlub al-`Ilma min al-Mahdi ila
al-Lahd).
Kepala Kantor
Urusan Agama (Ka.KUA) merupakan pejabat yang mengemban amanah untuk mengurus
masalah keagamaan di tingkat kecamatan. Sebagai unit terdepan, Kantor Urusan
Agama merupakan ujung tombak Kementerian Agama, tugasnya cukup berat dalam
melayani masyarakat, perannya sangat strategis karena pelayanan yang diberikan
bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan demikian, wajah Kantor Urusan
Agama di kecamatan sangat menentukan imej kementerian agama secara keseluruhan dalam
pandangan masyarakat umum.
Kurang optimalnya
fungsi Majlis Ulama Indonesia (MUI) di tingkat kecamatan, serta keengganan (kesulitan)
masyarakat desa untuk berkonsultasi langsung dengan Pengadilan Agama dalam
memecahkan persoalan yang berkaitan dengan persoalan hukum keluarga, membuat di
beberapa tempat masyarakat cenderung memposisikan Kepala KUA sebagai “Mufti” di
tingkat kecamatan, mereka sering dimintai fatwa dan pendapat dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan terutama dalam masalah al-Ahwal
al-Syakhshiyah, seperti persoalan talak dan rujuk, pembagian harta warisan dan
lain sebagainya. Walaupun sejatinya ini bukanlah tugas pokok dan fungsi seorang
Kepala KUA, akan tetapi kebutuhan masyarakat mengharuskan Kepala KUA untuk bisa
mengerti dan memahami persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapkan kepada
mereka, dan sering kali jawaban atas persoalan yang diajukan itu dituntut
secara spontan karena persoalan tersebut mengemuka seiring dengan insiden yang
terjadi di masyarakat.
Al-Ahwal
al-Syakhshiyah merupakan bagian dari Fiqih Mu’amalah yang senantiasa mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Pengkajian dalam ranah mu’amalah harus
dilaksanakan secara kontinyu karena permasalahan baru selalu muncul dari hari
ke hari. Banyak hal yang dulu belum pernah disinggung, sekarang justru terjadi
di tengah masyarakat. Sering kali persoalan yang sama menghendaki jawaban yang
berbeda karena dalam khazanah fiqih mu’amalah memungkinkan terjadinya perubahan
hukum disebabkan perbedaan tempat dan waktu suatu peristiwa (Taghyir
al-Hukmi bi Taghyir al-Amkinah wa al-Azminah).
Untuk menjawab
tantangan di atas, maka sebuah kemestian bagi Kepala KUA dan Stake Holders
Kementerian Agama untuk mencari terobosan dan strategi peningkatan kualitas
Kepala KUA, khususnya yang berhubungan dengan penguasaan hukum Islam. Beberapa
langkah telah dilakukan, seperti seleksi Kepala KUA teladan. Dalam seleksi ini
penguasaan atau pemahaman terhadap kitab kuning (turats) yang merupakan
sumber keilmuan hukum Islam dijadikan sebagai salah satu aspek penilaian. Hal
ini diharapkan bisa merangsang ghirah Kepala KUA untuk meningkatkan
kemampuannya dan mengkaji sumber hukum Islam lebih giat lagi. Kegiatan seperti
ini dan reward bagi KUA yang memiliki kemampuan intelektual di bidang hukum
Islam harus terus ditingkatkan di masa yang akan datang.
Akan tetapi program
peningkatan kualitas Kepala KUA tidak boleh terhenti sampai di situ, lebih dari
itu dibutuhkan pembinaan dan kegiatan kajian ilmiah yang lebih intensif dan
kontinyu. Untuk melaksanakan hal ini, maka diperlukan sedikit pengorbanan dari
pihak Kantor Kementerian Agama dan Kepala KUA sendiri. Pengorbanan yang
dimaksud adalah pengorbanan sedikit waktu dan dana untuk membentuk kelompok
kajian yang anggotanya terdiri dari para Kepala KUA dan para penghulu dan
merancang kegiatan kajian secara berkala. Dalam kajian ini diharapkan setiap
Kepala KUA mengemukakan persoalan-persoalan yang dihadapi di daerah yang belum
bisa dicarikan jawabannya menurut kaca mata Hukum Islam. Jawaban yang
didapatkan melalui forum kajian inilah yang nantinya akan dibawa pulang oleh
Kepala KUA dan menjadi bekal mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh masyarakat kepada mereka. Kalau hal ini bisa terwujud, maka kesan
bahwa Kepala KUA hanya bisa membaca doa dan menikahkan orang akan bisa dihilangkan
di tengah masyarakat.(riau.kemenag.go.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar