Senin, 02 Maret 2015
PEREKONOMIAN PADA MASA RASULULLAH DAN AL-KHULAFA AL-RASYIDIN
I. Pendahuluan
Kegiatan
Dakwah Rasulullah dalam mengembangkan Islam dapat dibagi menjadi dua periode,
yaitu periode Mekkah dan Periode Madinah. Dalam periode Mekkah, kegiatan dakwah
Rasulullah SAW banyak dihadapkan kepada tekanan kaum kafir quraisy dan praktis
selama perode Mekkah Rasulullah SAW tidak menjalankan peran sebagai pemimpin negara.
Peran Rasulullah sebagai pemimpin negara dimulai pada periode Madinah. Dalam
perode ini, Rasulullah menjalankan fungsinya sebagai seorang negarawan, seperti
kegiatan beliau dalam menata kehidupan sosial masyarakat, mengatur tata
perekonomian negara dan meningkatkan kemakmuran masyarakat sebagai warga negara.
Kedatangan
Rasulullah ke Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib, seolah mempertemukan
dua hal yang saling membutuhkan. Rasulullah, selama di Mekkah, seolah tidak
menemukan lahan yang subur untuk mengembangkan dakwahnya. Sementara sebelum kedatangan Rasulullah SAW, situasi kota
Yatsrib sangat tidak menentu karena
tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah
berdiri dengan tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah
terbesar di kota
Yatsrib senantiasa
terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut
memelihara dan mengembangkan
ajaran Islam.
Setelah diangkat
sebagai kepala negara, Rasulullah SAW segera melakukan
perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial,
baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi,
maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang
bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Seluruh
aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qur’ani, seperti
persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Sebagai sebuah negara yang
baru lahir, maka persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan yang dihadapi
Rasulullah karena Madinah ketika itu belum mempunyai aset negara. Dari sini
peran Rasulullah dalam menata perekonomian umat Islam dimulai untuk kemudian
dilanjutkan oleh para penerusnya.
II.
Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan
kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah
dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar Sistem Keuangan Negara serta strategi ekonomi yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan
langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama
dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
Tujuan dan pencanangan strategis dalam
bidang ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi muslim memenuhi
kebutuhan hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam
kehidupan mereka. Perhatian Islam terhadap permasalahan ekonomi atau
penanggulangan masalah kemiskinan tidak bisa diperbandingkan dengan ajaran
agama samawi lain atau aturan manapun. Di dalam al-qur'an banyak sekali
ditemukan ayat-ayat yang menganjurkan memberi makan fakir miskin (mencukupi
kebutuhan mereka, baik pangan, papan maupun sandang), menyatakan bahwa dalam
harta si kaya terdapat hak si miskin dan lain sebagainya. Untuk itu, praktek
ekonomi atau muamalah yang tidak sesuai dengan prinsip tersebut dieliminasi
oleh Islam, seperti mengeliminasi praktek riba yang sudah sangat mengakar dalam
kehidupan masyarakat jahiliyah,[1]
mengakui dan menganjurkan praktek kerjasama yang saling menguntungkan kedua
belah pihak, seperti syirkah, mudharabah dan lain sebagainya serta
mewajibkan zakat untuk menutup jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin.[2]
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh
Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur'ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber
utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan
aktivitas di setiap aspek
kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi
hanya milik Allah semata dan manusia
diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dengan demikian, dalam
kegiatan ekonomipun manusia harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang
ditetapkan Allah, seperti tidak mempergunakan sumder daya ekonomi untuk hal
yang dilarang dan mempunyai perhitungan yang matang dalam mengeksploitasi alam.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai
Khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai
dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang
dagangan ataupun perdagangan, tetapi
hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau
tidak bermoral.
Allah Swt. telah menetapkan melalui
sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip Qur'ani tidak akan pernah
menjadikan seseorang kaya raya dalam
jangka waktu yang singkat. Oleh karena
itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti
perjudian, penimbunan kekayaan,
penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling
prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan
tegas dan keras melarang segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang.
Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang
diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan
menyesatkan karena praktek-praktek ribawi
merupakan bentuk eksploitasi yang
nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap
orang-orang miskin, oleh penjual
terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan
terhadap bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam
yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
1.
Allah Swt.
adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam
semesta. Manusia
hanyalah khalifah Allah Swt. di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
2.
Semua yang
dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah
Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian
kekayaan yang dimiliki saudaranya.
3.
Kekayaan harus
berputar dan tidak boleh ditimbun.
4.
Eksploitasi
ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus
dihilangkan.
5.
Menerapkan
sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi
berbagai konflik individu.
6.
Menetapkan
berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun
sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang
banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak
mampu.[3]
Keuangan dan Pajak
1.
Mata Uang
Bangsa arab di hijaz pada masa awal kedatangan
Islam tidak mengenal mata uang sendiri, mereka menggunakan mata uang yang
mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byzantium dan dirham perak Dinasti
Sasanid di Irak, dan sebagian mata uang Bangsa Himyar dari Yaman. Penduduk
Mekkah tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas yang tidak ditempa
dan tidak menerimanya kecuali dengan timbangan. Hal ini disebabkan karena
banyaknya penipuan pada mata uang mereka, misalnya nilai yang tertera melebihi
nilai yang sebenarnya. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti
ukuran timbangan prnduduk Mekkah ketika melakukan interaksi ekonomi.[4]
2.
Sumber-sumber
Pendapatan Negara
a.
Jizyah,
yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim,
khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta
milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib
militer. Jizyah disebut juga dengan Kharaj al-Ra's (pajak
kepala). Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang laki-laki
dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan,
anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari
kewajiban ini.[5]
b.
Kharaj, yaitu pajak atas tanah. Di zaman
Rasulullah Kharaj lebih mirip dengan Muzara`ah, di mana tanah
taklukan digarap oleh bangsa yang ditaklukkan dan hasilnya dibagi dengan kaum
Muslimin yang ikut dalam perang tersebut. Seperti tanah yang didapatkan dari
penaklukan Khaibar. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Rawahah
untuk menghitung hasil bumi kaum Khaibar[6]
c.
Khums, yaitu seperlima dari
harta rampasan perang.di zaman jahiliyah, harta rampasan perang yang diambil
oleh penguasa adalah seperempat, akan tetap hal itu diperbaiki oleh Islam dan
dijadikan seperlima. Empat per lima
sisanya diserahkan kepada tentara yang ikut perang. Pada umumnya, Rasulullah SAW Membagi khums menjadi 3 bagian
pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan
bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin serta para musafir.
Khums mulai ditetapkan pada tahun kedua hijrah melalui surat al-Anfal ayat [7]
d.
Zakat, Syariat zakat sudah ada
sejak periode Mekkah, seperti perintah zakat yang terdapat dalam surat
Makkiyah, seperti Rum ayat 38-39, Luqman ayat 4, al-Mu'minun ayat 4, al-Naml
ayat 1-3, al-A`raf ayat 256-157, dan Fushshilat ayat 6-7. akan tetapi zakat
yang diwajibkan di Mekkah hanyalah zakat mutlak yang tidak memiliki syarat dan
batasan tertentu. Pelaksanaan zakat hanya ditentukan oleh keimanan individu
serta perasaan kewajiban mereka terhadap sesama.[8]
Pada tahun kedua Hijriyah, Allah Swt. mewajibkan
kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju
lembut, atau kismis; atau setengah sha'
gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka,
laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan
Shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin
stabil, tahap selanjutnya Allah Swt. mewajibkan zakat mal (harta)
pada tahun kesembilan Hijriyah.
Zakat sendiri disyariatkan dalam syariat Islam dengan tujuan pemerataan
ekonomi, sehingga jurang si kaya dan si miskin tidak terlalu lebar
Di samping pendapatan di atas, ada juga sumber pendapat Negara
yang bersifat sekunder, seperti :
a.
Uang tebusan tawanan perang,
khususnya pada perang Badar
b.
Khumus (seperlima) dari harta rikaz
c.
Amwal al-Fadilah, yaitu harta kaum
muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
d.
Wakaf
e.
Nawa'ib, yaitu pendapatan berupa Sedekah
dari Muslim dan Non Muslim dalam masa darurat.[9]
Dalam beberapa kasus, Rasulullah mengumpulkan sedekah dari para sahabat untuk
memenuhi kebutuhan Negara. Seperti mengumpulkan harta untuk biaya perang.
Seperti yang terjadi ketika kaum Muslimin menghadapi perang tabuk. Saat itu devisa
negara habis dan para sahabat berlomba-lomba untuk menyumbangkan hartanya. Dalam
perang tersebut Usman ibn Affan menyumbangkan harta sebanyak 1.000 dinar.[10]
Sumbangan dari Non-Muslim merupakan kesapakatan yang dicapai oleh Rasulullah
dengan Non-Muslim Madinah, dalam salah satu poin Piagam Madinah disebutkan
bahwa Kaum Muslimin dan Yahudi berkewajiban menafkahi diri mereka
masing-masing, akan tetapi bila terjadi
perang keduanya bertanggung jawab untuk menanggung biaya perang.[11]
Pemasukan di zaman Rasulullah tersebut dikelola oleh para
sahabat yang dianggap mampu untuk itu. Untuk mencatat ghanimah di zaman
Rasulullah ditunjuk Mu`aiqib ibn Abi Fatimah. Untuk menarik zakat dari para
raja ditunjuk Abdullah ibn al-Arqam. Untuk menarik zakat di daerah ditunjuk
orang tertentu yang kebanyakan berasal dari daerah tersebut, seperti Harts ibn
Dharar yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat kaumnya.[12]
Adapun yang
bertugas untuk mencatat pemasukan dari zakat ditunjuk Zubair ibn Awwam dan
Juhaim ibn Shalt. Sementara Mughirah ibn Syu`bah dan Hashim ibn Namir diberi
tugas untuk mencatat utang piutang dan transaksi mu`amalah.[13]
Zakat dan pemasukan lain dikelola secara terpisah karena zakat dan pajak
mempunyai sasaran yang berbeda.
Pengeluaran Negara
Tidak banyak literatur yang bisa
dijadikan rujukan untuk melacak pengeluaran Negara (expenditure) di
zaman Rasulullah. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan
kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan
dengan baik dan benar. Di antara pengeluaran di zaman Rasulullah adalah :
a. Gaji Pegawai, seperti wali, qadi, guru, imam, muadzdzin,
dan pejabat pemerintah lainnya. Rasulullah senantiasa memilih pegawai dari
sahabat-sahabat yang kaya, kebanyakan dari mereka berasal dari Bani Umayyah,
dengan tujuan untuk mengirit pengeluaran di masa itu karena pejabat kaya tidak
mengharapkan gaji dari jabatan mereka. Pada saat itu para pegawai digaji 1
dirham setiap hari dan banyak di antara sahabat tersebut yang dengan kerelaan tidak
menerima gaji itu.[14]
b. Pembayaran upah sukarelawan
c.
Biaya pertahanan dan keamana (militer)
d.
Pembayaran utang Negara
e.
Bantuan untuk
para Musafir
f.
Penerimaan dari
zakat disalurkan sesuai dengan aturan al-Qur'an, yaitu diserahkan kepada asnaf
yang telah ditetapkan. Rasulullah senantiasa memberikan perintah
yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan
zakat. Dalam kebanyakan kasus, ia menyerahkan pencatatan penerimaan
harta zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perhitungan yang ada
di simpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima
oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada
kasus al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Sulaim. Berkaitan dengan
pengumpulan zakat ini; Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap
zakat harta, terutama zakat unta.
Hasil pengumpulan kharaj
dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran
yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya.
Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya,
orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar
daripada orang yang belum menikah.[15]
Di samping pengeluaran di atas, ada juga
pengeluaran negara yang bersifat sekunder, seperti :
a. Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah (Bea
Siswa)
b.
Hiburan untuk para delegasi keamanan
c.
Hiburan untuk para utusan suku dan negara
serta untuk biaya transfortasi mereka
d.
Hadiah untuk pemerintah negara lain
e.
Penebusan kaum muslimin yang menjadi
budak
f.
Pembayaran diyat bagi orang
yang terbunuh oleh pasukan muslim
g.
Pembayaran utang orang yang meninggal
dalam keadaan miskin
h.
Tunjangan orang miskin
i.
Tunjangan untuk sanak saudara
Rasulullah
j.
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah
(hanya sedikit, yaitu 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap
isterinya).[16]
Baitul Mal
Sebelum Islam hadir di
tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang sebagai
satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara.
Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin
serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini
berarti, sebelum Islam datang, tidak
ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Dalam negara Islam, tampuk
kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perintah Al-Qur’an. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW
sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. la tidak
menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara
tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
Namun, tidak disebutkan adanya
seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di
lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan
yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran
yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun.
[17]
III.
Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Al-Khuulafa Ar Rasyidun
A. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu
Bakar Al-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu
Bakar Al-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi
terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan
pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar
Al-Shiddiq banyak menghadapi
persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia
memutuskan untuk memerangi kelompok
tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (Perang
Melawan Kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan
urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia
yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum
usaha ini selesai dilakukan.[18]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan
Abu Bakar Al-Shiddiq,
harta Baitul Mal yang berada di bawah pengawasan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah[19]
tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu
yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq
wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh
kaum Muslimin diberikan bagian yang sama
dari hasil pendapatan negara. Apabila
pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang
dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan
tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate
supply yang pada akhirnya akan menaikkan
total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya
dengan yang miskin.
B.
Sistem Ekonomi
dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak
melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab,
sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir),
serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas
keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the
Saint Paul of
Islam.[20]
Di samping itu, Umar juga banyak melakukan terobosan
di bidang ekonomi. Sehingga pada Masa Umar keuangan dan ekonomi negara dikelola
secara teratur dan professional.
1.
Pendirian
Lembaga Baitul Mal
Baitul Mal sudah ada sejak masa
Nabi. Akan tetap fungsinya hanya sebagai tempat persinggahan harta sementara
sebelum dibagikan kepada fakir miskin. Di masa Umar Baitul Mal berfungsi
sebagai simpanan Aset Negara. Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi
Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu
menjabat sebagai Gubernur Bahrain
dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000
dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. oleh karena jumlah tersebut sangat
besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah
para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah
melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak
mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk
keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga
membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur
dalam mengelola harta Baitul Mal. Lembaga keuangan di zaman
Umar bersifat terpisah dan independent dari kekuasaan eksekutif.[21]
Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta
umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai
otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung
jawab langsung kepada pemerintah pusat. Untuk mengelola administrasi
keuangan di Baitul Mal, Umar menunjuk orang-orang Persia yang memang dikenal sebagai
orang-orang yang handal dalam masalah administrasi dan pembukuan.[22]
Untuk mendistribusikan harta
Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa
departemen yang dianggap perlu, seperti :
a)
Departemen
Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan
dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
b)
Departemen
Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji
para hakim dan pejabat eksekutif.
c)
Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan
bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya,
seperti guru dan juru dakwah.
d)
Departemen
Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan
kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[23]
2.
Kepemilikan
Tanah
Selama pemerintahan Khalifah
Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya
daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan
maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan
baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan
apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang
berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara
dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar
tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut.
Muadz bin Jabal, salah seorang di
antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan.
Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja”. Di samping
itu pembagian tanah kepada orang yang ikut perang akan melahirkan tuan tanah
yang memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Umar memutuskan
bahwa tanah tersebut tetap ada dan diambil pajaknya (Kharaj). Sehingga
dengan demikian pemerintah mempunyai sumber penghasilan tetap.[24]
Untuk kebijakan pengelolaan
hasil Kharaj, diserahkan kepada Pemerintahan Provinsi, maka tidak
mengherankan kebijakan tentang pengelolaan keuangan di masa Umar berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain. Seperti :
a)
Wilayah Irak
yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
b)
Kharaj dibebankan
kepada semua tanah yang berada di bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
c)
Bekas pemilik
tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
d)
Tanah yang tidak
ditempati atau ditanami (tanah mati) atau
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
e)
Di Sawad, kharaj
dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
f)
Di Mesir,
berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gan
dum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gan
dum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
g)
Perjanjian
Damaskus (Syria)
berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
Khalifah Umar juga mempunyai kebijakan untuk
mengkhususkan tanah pertanian untuk dimanfaatkan oleh fakir miskin.[25]
3.
Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah
kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh
kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan
jihad. di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena
zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas,
seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak
dikenakan zakat.
Pada masa Umar, Gubernur Thaif
melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi
menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan
bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi.
Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.
Zakat yang ditetapkan adalah
seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu
jenis kedua.
4.
Ushr
Sebelum Islam datang, setiap
suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr)
jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu
dirham untuk setiap transaksi. Namun,
setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara
yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan
menghapus bea masuk antar provinsi
yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk
dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Dengan
demikian, di masa Nabi dan Abu Bakar, Pemerintah belum menarik Ushur
dari pedagang luar yang masuk negara Islam. Akan tetapi di masa Umar hal ini
sudah diterapkan terhadap pedagang kafir yang berdagang atau lewat di daerah
Islam.[26] Hal ini dilakukan
Umar, karena pedagang Muslim dikenai bea cukai (ushur) apabila masuk
daerah kafir. Di samping itu, hal ini juga dengan pertimbangan kemaslahatan
kaum muslimin, terutama para pedagangan muslim.
5.
Sedekah dari
non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar
sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang
keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka
membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan
suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah
kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak
membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
Nu’man ibn Zuhra memberikan
alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana
memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya
keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka
dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan
syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau
memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk
membayar sedekah ganda.
6.
Penggalian Kanal
Kebijakan ekonomi lain yang dirancang oleh Khalifah
Umar ibn Khattab adalah menggali kanal untuk mempermudah proses ekspor-impor
barang dari Mesir ke Hijaz. Kanal digali dari Sungai Nil menuju Qalzam (laut
merah). Kanal yang digali Umar itu dikenal dengan Teluk Amirul Mukminin.
Keberadaan kanal ini memberikan konstribusi yang besar dalam perkembangan
perekonomian kaum muslimin ketika itu.[27]
7.
Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa
pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan
berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar,
sebuah koin emas, dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah
sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau
seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu
dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.
Pada masa Umar, seiring dengan meningkatnya volume
perdagangan. Uang wesel
atau cek sudah muali dikenal dalam transaksi perdagangan. Seperti ketika Umar
mengimpor sejumlah barang dagangan dari Mesir. Karena jumlahnya banyak dan
proses distribusinya terhambat, maka Umar menerbitkan Cek untuk itu.[28]
7.
Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di
muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara
adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada
masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi
pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
v Pendapatan zakat. Pendapatan ini
didistribusikan di tingkat lokal dan untuk ashanaf yang telah
ditentukan al-Qur'an. Jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan
di Baitul Mal pusat untuk kemudian dibagikan kepada delapan ashnaf. Desentralisasi
pengelolaan zakat merupakan salah satu terobosan yang dilakukan Umar dalam
bidang ekonomi.
v Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini
didistribusikan
kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan
mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau
bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus,
Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita
penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada
orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah
dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan
mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau
bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus,
Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita
penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada
orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah
dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
v Pendapatan kharaj, fai, jizyah, 'ushr (pajak
perdagangan), dan sewa
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
v Pendapatan
lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar
para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[29]
para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[29]
8.
Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran
dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling
penting. Prioritas berikutnya adalah dana
pertahanan negara dan dana pembangunan.
Seperti yang telah dijelaskan,
Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk
rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H
dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan
untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan
kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata
dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah
berjasa. Di
samping itu, ahlul bait Rasul juga mendapatkan perhatian dari Umar.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada
para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan
kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab
membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit
atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat
orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan
para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam
perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup
kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke
dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[30]
Di masa Umar juga telah dilaksanakan
pengawasan terhadap keuangan negara. Bahkan Umar telah mempraktekkan
pemeriksaan kekayaan pejabat pemerintah. Untuk hal yang satu ini beliau tidak
pandang bulu. Sahabat-sahabat utama seperti Abu Hurairah, Amr ibn Ash, Khalid
ibn Walid dan lain sebagainya tidak luput dari pemeriksaan Umar. Hal ini
mungkin dilakukan Umar karena beliau sendiri sangat wara` daam menggunakan
fasilitas Negara.[31]
Di samping itu, Umar juga menunjuk Muhammad ibn Maslamah untuk menerima
pengaduan dari masyarakat.[32]
Selama masa jabatannya, Umar telah berhasil membangun
perekonomian masyarakat Islam, di masanya ada jaminan sosial bagi anak yatim,
fakir miskin dan orang-orang jompo. Di samping itu, tunjangan dan subsidi di
masa Umar telah membangkitkan perekonomian masyarakat. Diriwayatkan, salah
seorang ummahatul mukminin bisa mengeluarkan zakat dari harta tunjangan yang
diberikan Umar. Hal ini bisa terjadi karena Umar telah mengembangkan
perekonomian dalam bingkai takwa. Mengembangkan perekonomian yang penuh dengan
musyawarah dan fleksibilitas tetapi mempunyai acuan yang jelas. Mengembangkan
perekonomian yang berbasis sosial akan tetapi mempunyai pengawasan yang ketat
dan lain sebagainya.[33]
C. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman
ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung selama 12 tahun, terlama di antara para khulafa
al-Rasyidin, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari
Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah
Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa
pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan
mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan
sumber daya
alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan
pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah
komando Muawiyah, hingga berhasil
membangun supremasi kelautannya di wilayah
Mediterania.._Laodicea-dan wilayah di Semenanjung Syria,
Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman
ibn Affan harus menanggung beban
anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara
angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di
bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat,
Khalifah Utsman ibn Affan men-delegasikan kewenangan menaksir harta
yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah
dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul
zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat
hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong
seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga mengurangi zakat
dari dana pensiun.
Memasuki enam tahun kedua masa
pemerintahan Utsman ibn ‘Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang
cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn ‘Affan yang banyak
telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin.
Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan
politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khlifah.[34]
D. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintah Khalifah Ali bin
Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali
ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah
diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya
diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari
pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan
pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin
solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang
sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang
pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya
yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta
tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas
pelaksanaan dispensasi keadilan serta
pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan kelebihan
dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[35]
Hal lain yang perlu dicatat selama pemerintahan Ali
adalah kebijakan beliau untuk mengeluarkan Uang Cetakan dalam pemerintahan
Islam ketika itu. Setelah Persia
ditaklukkan, kaum muslimin mulai diperkenalkan kepada teknologi percetakan
uang. Pada masa pemerintahan Ali untuk pertama kalinya secara resmi uang
dicetak dengan menggunakan nama pemerintah Islam.[36]
Untuk tunjangan dana pensiun, Ali mempunyai kebijakan
yang sama dengan Abu Bakar. Beliau tidak membedakan antara sahabat atau kaum
muslimin berdasarkan tingkat keimanan dan dahulunya mereka masuk Islam.
Menurutnya masalah keimanan hanyalah Allah yang bisa menentukan. Kebijakan
beliau ini berbeda dengan kebijakan Umar, yang memberikan tunjangan yang
berbeda kepada para sahabat sesuai dengan ontribusinya terhadap perkembangan
Islam.
[1] Pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap, hal ini dikarenakan
praktek riba sudah sangat mengakar kuat dalam masyarakat jahiliyah sehingga
akan menimbulkan resistensi yang kuat dari berbagai pihak kalau diharamkan
dalam satu tahap saja. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa'i` al-Bayan fi
Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta
: Dinamika Berkah Utama, th), h. 391.
[2] Ahmad Ibrahim Abu Abu Sinn, Manajemen syariah, terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006). h. 88.
[3] Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : RPT Raja
Grafindo Persada, 2004). H. 36.
[4] Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007). h.
49.
[5] Ahmad Shurbasyi, Mu`jam Iqtishad al-Islami, (Kairo : Dar
el-Jil, th), h. 95.
[6] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 79.
[7] Ahmad Shurbasyi, op. cit., h. 141.
[8] Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat Juz I, (Beirut : Mu'assasah
Risalah, 1973). h. 61.
[9] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 45-48.
[10] Abdul Khaliq Abu Dabiah, Ma`a al-khulafa' al-Rasyidin, h.
76.
[11] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit.,, h. 85.
[12] Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Semarang : Usaha Keluarga,
th). h. 318.
[13] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit h. 35.
[14] Ibid, h. 35.
[15] Adiwarman Karim, op. cit h. 48.
[16] Ibid
[17] Ibid, h. 51-52.
[18] Ibid, h. 54-55.
[19] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit, h. 38.
[20] Julukan ini diberikan juga karena Umar dan Paul (Paulus) mempunyai
masa lalu yang sama, yaitu sama-sama penentang agama yang kemudian dibelanya.
[21] Ibid, h. 43.
[22] Adiwarman A Karim, op. cit h. 160.
[23] Ibid, h. 62.
[24] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 42.
[25] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 65-68.
[26] Quthb Ismail Muhammad, op. cit., h. 100.
[27] Manajemen Syari`ah. H. 89.
[28] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 161.
[29] Ibid, h. 73-74. Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h.
108.
[30] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 74-78.
[31] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 158-180. Abu Ubaid
Qasim ibn Salam, al-Amwal, (Beirut
: Dar al-Huquq, th). h. 342-343.
[32] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, op. cit., h. 41.
[33] Quthb Ibrahim Muhammad, op. cit., h. 220-240.
[34] Adiwarman A Karim, op. cit., h. 78-82.
[35] Ibid, h. 82-85.
[36] Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa uang cetakan sudah ada
sejak masa pemerintahan Umar dan Usman, akan tetapi tidak ada bukti sejarah
yang kuat yang bias mendukung pendapat tersebut. Lihat Adiwarman Karim, op.
cit., h. 164.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar