Selasa, 24 Februari 2015
AJARAN ISLAM YANG TERLUPAKAN
Islam adalah agama komprehensif yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak hanya sebatas ritual ibadah, tapi juga
mu’amalah dan tata pergaulan antar sesama. Bahkan tidak hanya cukup sampai di
situ, lebih jauh Islam juga mengajarkan bagaimana sikap mental yang harus
dimiliki oleh seorang Muslim. Hal ini akan tergambar jelas kalau kita mau
mencermati periodesasi dakwah Rasulullah. 13 tahun Rasulullah mengembangkan
syi’ar Islam di Makkah, selama itu Rasulullah fokus membina akidah umat yang
sebenarnya sangat berkaitan erat dan sangat berpengaruh terhadap sikap mental
yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Didikan mental selama di Mekkah inilah
yang pada akhirnya melahirkan para sahabat dengan kepribadian yang mengesankan.
Hal inilah yang sering terlupakan oleh kaum
muslimin sehingga kajian Islam banyak terfokus kepada persoalan-persoalan
ritual ibadah dan melupakan dimensi muamalah dan sering meninggalkan dimensi
pembinaan mental yang sesungguhnya merupakan salah satu cara Islam untuk
mendidik kaum muslimin menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Dan yang lebih
mengherankan lagi, justru banyak di antara dimensi mental psikologis dan sikap
tersebut lebih banyak dijalan dengan lebih sempurna oleh orang-orang non
muslim. Sehingga tepat apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “Di Timur
banyak sekali di temukan muslim akan tetapi sangat sulit menemukan Islam,
sementara di Barat banyak sekali ditemukan Islam walaupun sangat sulit mencari
individu yang mengaku sebagai muslim”. Ungkapan Muhammad Iqbal ini benar
adanya apabila kita melihat kondisin dan kenyataan yang dihadapi oleh
orang-orang Islam (muslim) dan membandingkannya dengan apa yang dimiliki oleh
non muslim dengan sikap yang mereka punya. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan
tolok ukur
1. Disiplin dan Penghargaan
terhadap waktu
Berbicara mengenai "waktu" mengingatkan kita kepada ungkapan Malik Bin Nabi dalam bukunya Syuruth An-Nahdhah (Syarat-syarat Kebangkitan) saat ia memulai uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw.: “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru."Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat."
Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut: “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”
Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah Swt. berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan lain-lain. Dan peringatan Allah akan pentingnya waktu tergambar jelas dalam Surat al-Ashr
Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr (Demi masa), lalu mengatakan bahwa manusia berada dalam kerugian. Allah bersumpah dengan 'ashr, yang secara harfiah sebenarnya berarti "memeras sesuatu sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi padanya,". Seolah-olah dalam surat ini Allah hendak mengatakan bahwa manusia akan merugi kalau ia tidak memanfaatkan waktu yang ia miliki untuk memeras segala potensi dan daya upaya yang ia miliki.
Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda, "Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok."
Akan tetapi inilah yang sering dilupakan oleh kaum muslimin sehingga benar apa yang dikatakan Rasulullah : “Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (HR. Bukhari) .
Di samping
ayat-ayat dan hadis-hadis di atas, ajaran tentang kedisiplinan dalam Islam juga
tersirat dalam syariat mendirikan shalat tepat pada waktunya. Ada filosofi keteraturan dan kedisiplinan
dalam pemanfaatan waktu sejak kita bangun tidur sebelum matahari terbit sampai
kita mau menutup mata untuk istirahat di malam hari. Seolah ini juga memberikan
pelajaran bahwa kita harus memanfaatkan waktu dengan disiplin dan teratur sejak
fajar kehidupan kita sampai nanti saat kita menutup mata sebagai tanda
berakhirny episode kehidupan di muka bumi.
Kalau saat ini muncul pertanyaan siapa yang paling disiplin dan paling bisa
menghargai waktu, mungkin jawabannya bukanlah orang-orang Islam yang mempunyai
al-Qur’an dan Hadis yang mengajarkan hal itu, akan tetapi bisa jadi jawabannya
adalah orang-orang barat yang tidak pernah kenal dengan Al-Qur’an dan Hadis. Kalau
kita perhatikan kehidupan generasi muda mereka, dalam bis atau kendaraan
umumpun mereka masih menyempatkan diri untuk membaca buku, bahkan kalau kita
melihat di dalam toilet merekapun terdapat koran atau majalah yang akan mereka
baca di saat buang air, sehingga waktu buang airpun tidak terbuang percuma dan
bisa mereka manfaatkan untuk perbaikan diri. Hal ini tentunya sangat berbeda
dengan kondisi generasi muda Islam ataupun kaum muslimin.
2. Kebersihan
Dalam sebuah hadis yang sangat populer Rasulullah mengatakan bahwa
kebersihan itu adalah sebagian dari Iman (al-Nazhafah Min al-Iman). Bahkan
dalam kitab-kitab fikih kita menemukan pembahasan Thaharah
(bersuci/kebersihan) merupakan masalah yang paling pertama dibicarakan. Lima
kali sekurang-kurangnya kita menghadap Allah dalam satu hari satu malam, di
mana ibadah tersebut tidak bisa kita laksanakan sebelum kita membersihkan diri
dari najis dan hadas. Tidak ada agama lain yang memiliki konsep seperti ini
yang menyatakan bahwa kebersihan adalah bagian dari ibadah, akan tetapi
kenyataan yang ada di depan mata kita berbicara bahwa umat Islam adalah
orang-orang yang ketinggalan di dalam masalah kebersihan. Kita mungkin bisa
membandingkan bagaimana kebersihan di lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan
lembaga-lembaga pendidikan agama lain. Bagaimana kondisi rumah sakit Islam
dibandingkan rumah sakit orang lain, bahkan bagaimana kebersihan tempat ibadah
kita umat Islam jika dibandingkan dengan kebersihan yang kita lihat di
gereja-gereja dan lain sebagainya.
3. Mental Untuk Memberi
Dalam sebuah hadis Rasulullah mengatakan :
اليد العليا خير من اليد السفلى
tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
(HR. Bukhari Muslim)
Pelajaran inilah yang menginspirasi
para sahabat untuk menjadi pihak yang selalu memberi dan berusaha sekuat tenaga
untuk tidak menjadi pihak yang selalu menerima uluran tangan dari orang lain.
Dikisahkan, pada saat kaum muslimin Mekkah hijrah ke Madinah, Rasulullah
mengambil suatu kebijakan untuk mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Hal
ini bertujuan agar kondisi kaum Muhajirin yang memprihatinkan karena harus
hijrah tanpa membawa apa-apa bisa dibantu oleh kaum Anshar. Pada saat itu,
Abdurrahman bin Auf yang tidak memiliki apa-apa ditawari oleh saudara Ansharnya
“Wahai Abdurrahman, saya punya dua bidang kebun korma, silahkan ambil satu
untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Saya punya dua ekor kuda, silahkan ambil satu
sebagai kendaraanmu. Dan saya punya dua orang isteri. Kalau kau berkenan
silahkan pilih satu untuk kau jadikan isteri, niscaya nanti aku ceraikan”.
Abdurrahman bin Auf yang dalam kondisi sangat membutuhkan tidak serta merta
menerima tawaran itu, dia justru berkata “Dullani Ilassuq, tunjuki aku jalan
ke pasar, biar di sana saya mengadu nasib”. Inilah sikap yang ditunjukkan
oleh sahabat didikan Rasulullah, sangat berbeda dengan kondisi masyarakat yang
rela berdesak-desakan untuk mendapatkan zakat, rela berbantah-bantahan untuk
mendapat Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah. Contoh yang lebih baik justru
ditunjukkan oleh orang-orang China yang Notabene tidak mengenal Islam. Konon di
China para pengangguran mendapatkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka sampai mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi para pemuda China malu
mendapatkan tunjangan tersebut dan tidak ingin berlama-lama menggantungkan
hidup dari belas kasihan pemerintahnya. Coba kita bayangkan bagaimana kalau
seandainya hal ini ada di Indonesia, niscaya akan banyak muslim Indonesia yang
betah jadi pengangguran. Sebagai muslim yang baik marilah kita bertekad untuk
memberi sebanyak-banyaknya, jangan pernah berpikir untuk menerima
sebanyak-banyaknya, karena Khairunnas Anfa’uhum Linnas, sebaik-baik
manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain.
4. Budaya Malu
Raulullah mengatakan bahwa
الحياء
من الإيمان
malu adalah sebagian dari iman (HR. Bukhari Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari
Rasulullah mengatakan الحياء لا يأتي إلا بخير
“Malu tidak membawa apapun kecuali
kebaikan”. Rasul sendiri merupakan pribadi yang sangat pemalu, diriwayatkan
suatu ketika beliau lewat di depan khalayak kemudian angin datang menerpa
sehingga menyebabkan betisnya yang putih terbuka. Pada saat itu wajah Rasulullah
kelihatan merah karena saking malunya ia di hadapan manusia. Rasa malu juga
seharusnya ditunjukkan di saat kita tidak bisa mengemban amanah yang diberikan.
Seorang pemimpin harus malu di saat ia tidak amanah dan tidak disenangi
masyarakat. Guru juga harus malu apabila ia gagal melahirkan murid yang
berprestasi. Pegawai juga harus malu kalau ia hanya memakan gaji buta tapi
gagal melayani masyarakat. Dalam keluarga, ayah mesti malu kalau tidak berhasil
mendidik anak. Ibu harus malu kalau tidak bisa menjadikan rumahnya sebagai
hunian yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya. Dan anak seharusnya malu kalu
ia tidak bisa membahagiakan dan mengukir kebanggaan di wajah orang tuanya. Akan
tetapi di negara muslim manakah hal ini bisa kita temuakan. Di belahan bumi
Indonesia mana hal ini bisa kita jumpai. Hal ini justru bisa kita temukan di
Jepang. Di mana sering kita mendengar Perdana Menteri yang mengundurkan diri di
saat merasa dirinya gagal bahkan banyak kita mendengar para insinyur atau
jenderal yang bunuh diri karena malu tidak bisa menyelesaikan proyek atau misi
yang diembankan kepadanya.
Dengan demikian, akan sangat mengherankan di saat kita temui kenyataan yang
sebaliknya di tengah masyarakat Islam. Ada kecenderungan bahwa kaum muslimin
tidak malu berbuat maksiat, jangankan untukmalu di hadapan Allah yang tidak ia
lihat. Di hadapan manusia yang ada di hadapan merekapun mereka tidak malu.
Bahkan yang lebih parah lagi ada generasi muda yang merasa malu dan tidak
jantan kalau tidak ikut berbuat dosa. Na’udzu Billah. Di tempat lain
kita temukan kenyataan yang berbeda, di mana orang-orang yang tidak mampu
mengemban amanah tanpa rasa malu masih mengemis amanah dan mempertahankan
jabatan yang mereka sandang. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah, bahwa di
akhirat kelak akan ada sekelompok manusia yang memikul beban yang sangat berat
dan tidak bisa mereka pikul, akan tetapi mereka masih meminta agar beban yang
mereka pikul terus ditambah.
Demikianlah segelintir ajaran Islam yang jarang diperhatikan oleh umat
Islam dan cenderung merasa bahwa hal yang kita kemukakan di atas bukanlah
bagian dari ajaran Islam. Kepada Allah kita bermohon semoga kita senantiasa
diberi petunjuk agar tetap diberi petunjuk.
(Riau.kemeag.go.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar