Selasa, 24 Februari 2015
ETOS KERJA RABBANI
“Kita mendidik para ahli di bidang kedokteran, demikian pula di bidang-bidang lainnya, tetapi sayang, kita cenderung lalai mendidik ahli-ahli yang menjadikan kita lebih bijaksana. Mereka hanya dapat mengajarkan kepada kita “bagaimana cara berbuat” (know how), tetapi bukannya “mengapa berbuat demikian“ (know why). –Louis Katssoff
Salah satu ciri Islam, menurut Yusuf Al-Qaradhawi, adalah Rabbaniyah al-Ghayah wa al-Wijhah, bersifat Rabbani dalam orientasi dan metode. Artinya, dalam Islam segala sesuatu yang dikerjakan selalu berdimensi Rabbani. Walaupun sesuatu yang dilaksanakan tersebut bersifat duniawi, akan tetapi ada unsur Ukhrawi yang juga harus direbut oleh seorang Muslim.
Dalam dimensi duniawi, Bekerja merupakan bagian dari proses hidup dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mengangkat harkat kemanusiaan. Dalam lingkup yang lebih besar, budaya kerja juga menjadi tolok ukur kualitas sebuah bangsa. Bangsa pembelajar dan pekerja akan senantiasa berada di garda depan peradaban dunia. Jepang dan Jerman, sekedar menyebutkan contoh, adalah dua negara yang hancur setelah kekalahan di Perang Dunia II, akan tetapi mampu bangkit dengan budaya kerja masyarakatnya.
Dalam dimensi Ukhrawi, bekerja
merupakan sebuah kewajiban agama dan malas merupakan sikap yang dibenci dalam
Islam. Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min
yang giat bekerja.” (HR. Thabrani). Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa
ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan salah
seorang sahabat Anshar, Sa'ad bin Mu’adz al-Anshari, yang melepuh, kulitnya
gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, “Kenapa
tanganmu?” Saad menjawab, “Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk
mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah
SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang
tidak akan pernah disentuh oleh api neraka'" (HR. Tabrani). Setiap jerih
payah dalam mencari nafkah akan mengundang keampunan dari Allah swt. Orang yang
duduk lelah di sore hari karena pekerjaan yang telah dilakukannya, maka sore
itu ia lalui dalam ampunan Allah SWT.
Sementara di sisi lain, Islam sangat membenci orang yang malas apalagi
kalau diikuti dengan mental suka meminta-minta. Rasulullah saw bersabda "Senantiasa minta-minta itu dilakukan
oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada
di mukanya sepotong daging." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Tuntunan
Islam Dalam Bekerja
Al-Qur’an menyebut kerja
dengan berbagai terminologinya dalam
banyak ayat. Di antara kata yang memiliki arti “kerja”
adalah kata ‘Amalun’. Kata
ini merujuk kepada makna kerja dalam bentuk lahiriah dan batiniah. Kata ini
dengan segala bentuk
derivasinya terulang sebanyak 260 kali. Kata lain adalah “Fi’lun” yang dengan segala bentuk derivasinya terulang sebanyak 99 kali di dalam
Al-Qur’an, kata ini merujuk kepada makna kerja dalam bentuk lahiriah. Kata “Shun’un”
dengan segala bentuk derivasinya terulang sebanyak 17 kali. Kata ini
merujuk kepada bentuk kerja yang menghasilkan output dalam bentuk fisik. Kerja
juga diungkapkan dengan kata “Taqdimun” di dalam AL-Qur’an dan terulang
sebanyak 16 kali. Kata ini lebih menekankan kepada bentuk investasi yang bisa mendatangkan
kebahagiaan di hari esok. Penyebutan
sesuatu secara berulang-ulang di dalam al-Qur’an menunjukkan sesuatu tersebut
merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus mendapatkan perhatian.
Ada beberapa rambu-rambu yang harus
diperhatikan dalam berkerja, sehingga pekerjaan tidak hanya berdimensi duniawi,
akan tetapi juga berdimensi Ukhrawi, tidak hanya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup, akan tetapi juga dalam rangka beribadah untuk menggapai
kejayaan di akhirat. Rambu-rambu tersebut antara lain :
a. Niat Ikhlas Karena
Allah SWT
Ikhlas merupakan
nyawa semua Ibadah, tanpa ikhlas maka setiap karya tidak akan bernilai di sisi
Allah. Orang yang sudah tertanam keikhlasan dalam hatinya, maka ia akan jauh
dari kekecewaan. Al-kisah, di zaman Abu Bakar terjadilah perang sengit antara
kaum muslimin melawan Romawi, dalam pertempuran itu kaum muslimin dipimpin oleh
seorang panglima yang gagah berani bergelar Saifullah al-Maslul (pedang
Allah yang selalu terhunus), di mana-mana namanya selalu jadi sebutan, dihormati
kawan dan ditakuti musuh, dialah Khalid bin Walid. Di tengah sengitnya
pertempuran, datang berita dari Madinah bahwa khalifah Abu Bakar ra wafat dan
digantikan oleh Umar bin Khattab ra. Seiring dengan kedatangan berita tersebut
juga ada perintah dari Khalifah Umar ra untuk menggantikan Khalid bin Walid
sebagai panglima perang dengan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah. Tak ada angin tak ada
hujan, tiba-tiba Khalid bin Walid digantikan oleh Abu Ubaidah ibn al-Jarrah,
akan tetapi Khalid bin Walid tetap legowo dalam menerima perintah tersebut dan
tetap berjihad sebagai prajurit di bawah pimpinan panglima baru, Abu Ubaidah
ibn al-Jarrah. Peristiwa ini sontak menimbulkan perbincangan di kalangan
sahabat, akan tetapi Khalid bin Walid dengan lantang berkata : “Saya berjihad
bukan karena Abu Bakar atau Umar, saya berjihad karena Allah swt, jadi
dimanapun saya diposisikan, saya akan tetap berjihad asalkan Allah swt ridho”.
Inilah contoh kebesaran jiwa dan kelapangan dada yang dimiliki oleh orang yang
memiliki sifat Ikhlas. Orang yang bersifat ikhlas tahu bahwa setiap yang
dilakukannya berada di bawah tatapan Allah, sehingga ia tidak akan terlalu
terpengaruh dengan penilaian manusia.
b. Al-Itqan fi al-`Amal (sungguh-sungguh dan profesional dalam
bekerja)
Rasulullah bersabda
: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia
menyempurnakan pekerjaannya (dengan profesionalisme dan ketekunan).” (HR. Tabrani). Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan “Orang yang beramal (bekerja)
tanpa ilmu (profesionalisme) maka kehancuran yang ditimbulkannya akan lebih
besar dari manfaat yang dihasilkannya”.
Profesionalisme
merupakan sebuah keniscayaan dalam melakukan pekerjaan, maka dua hal yang harus
diperhatikan, (1) Seorang profesional harus mengetahui potensi dan kelemahan yang
dimiliki. Rasulullah saw pernah mengatakan : “Sesungguhnya Allah merahmati
orang yang tahu dengan kapasitas dirinya.” Mengetahui kapasitas diri merupakan
hal penting agar kita bisa memilih bidang yang tepat dan memberikan karya kita
secara optimal, (2) seorang profesional adalah seorang pembelajar sehingga
selalu ada peningkatan kualitas kerja dari hari ke hari, dalam bahasa agama
dikatakan “Orang yang hari ini lebih baik dari hari kemaren, maka dia adalah
orang yang beruntung. Orang yang hari ini sama saja dengan hari kemaren, maka
dia adalah orang yang merugi. Orang yang hari ini justru lebih buruk dari hari
kemaren, maka dia adalah orang yang celaka.” Seorang profesional tidak harus lebih baik
dari orang lain, akan tetapi kualitas seorang profesional dan pembelajar pada
hari ini harus lebih baik dari pada kemarin.
c.
Bersikap
Jujur & Amanah
Rasulullah bersabda
“ada empat perkara, apabila ada pada dirimu maka kamu tidak akan luput dari
kehidupan dunia, menjaga amanah, jujur dalam bicara, akhlak yang baik dan
makanan yang suci (halal). (HR. Ahmad).
d.
al-Ibti`ad `an al-Syubhat (Menghindari Syubhat)
Salah satu tujuan
bekerja adalah mengangkat harkat kemanusiaan. akan tetapi sesungguhnya martabat
seseorang tidak ditentukan oleh apa yang ia miliki, melainkan ditentukan oleh
bagaimana proses dia mendapatkan sesuatu. Dalam ritual ibadah haji kita
mengenal salah satu rukun haji yang disebut sa’i, yaitu berlari-lari kecil
antara Shafa dan Marwa. Secara harfiyah
sa’i berarti usaha, sementara Shafa berarti kesucian dan ketegaran dan Marwah
berarti ideal dan martabat. Hal ini mengajarkan bahwa kalau ingin mencapai
kondisi ideal dan bermartabat dalam hidup, maka hendaknya kita harus senantiasa
berusaha, dan usaha tersebut harus berawal dan dijalani dengan kesucian dan ketegaran. Dalam bekerja hendaknya kita jangan mengambil sesuatu
yang bukan hak kita, janganlah makan dari tetes keringat orang lain, dan
janganlah mengambil nama dari jerih payah orang lain. Dalam proses bekerja
hendaknya kita juga memperhatikan rambu-rambu syari’at, jangan sampai pekerjaan
membuat kita lalai dari melaksanakan kewajiban kita yang lain terhadap Sang
Khaliq.
e. Al-Mura`ah bi al-Ukhuwah
al-Islamiyah (Menjaga Ukhuwah
Islamiyah)
Banyak orang yang
terlalu fokus terhadap hasil sehingga ia lupa dengan proses. Akibatnya banyak
orang tidak menjaga Ukhuwah dan Silaturrahim dalam proses mencari nafkah.
Padahal Silaturrahim merupakan sarana yang akan mendatangkan rezki yang
barokah. Rasulullah bersabda “Siapa yang ingin panjang umur dan murah rezki,
maka perbanyaklah menjalin silaturrahim” (HR. Bukhari Muslim)
(Metro Riau, 25-25 Apr 2012)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar